Senin, 18 Agustus 2008

GERAKAN BARU SASTRA LAMONGAN:

Catatan Singkat atas Forum Sastra Lamongan (FSL)
Haris del Hakim

Tulisan ini tidak hendak merekonstruksi sebuah gerakan secara komprehensif, namun sekadar mengambil salah satu sebuah gerakan halus yang terjadi secara simultan dan dapat disebut sebagai fenomena yang luar biasa. Selain dari itu, tulisan ini tidak menjamah ranah analisa karya yang memerlukan waktu yang panjang dan kajian lebih intens, tapi sekadar ulasan beberapa hal yang dapat dianggap penting.
Keberadaan sastra Lamongan patut mendapatkan perhatian. Sastrawan yang lahir dari Lamongan ikut mewarnai peta sastra Indonesia, sebut saja nama Satyagraha Hoerip, Djamil Suherman, Abdul Wachid BS, Viddy, Aguk Irawan MN, Mashuri, dll. Di samping itu di Lamongan sendiri sebenarnya nafas sastra telah mengakar kuat, sebagaimana yang pernah disaksikan sendiri oleh Emha Ainun Nadjib pada tahun 80-an. Geliatnya semakin kentara dengan kehadiran Harry Lamongan yang sebenarnya lahir di Bondowoso namun berdomisili di Lamongan.

Selama bertahun-tahun Harry Lamongan seperti penjaga gawang sastra. Berbicara tentang sastra di Lamongan, maka referensi utamanya adalah Herry Lamongan. Tentu saja dia tidak sendirian. Dalam Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) banyak tergabung pegiat-pegiat sastra. Mereka melakukan pergulatan sastra yang diadakan melalui apresiasi bulanan dalam wahana Candrakirana. Sayangnya, hanya seorang Herry yang muncul dalam media massa meskipun dalam beberapa pertemuan dia selalu menegaskan bahwa eksistensi sebuah karya tidak cukup dalam medan apresiasi lokal yang dihadiri oleh orang-orang yang dikenal. Sebuah karya mesti dilepas keluar agar dia menghirup keluasan cakrawala dan bertahan hidup dalam deru badai dan hantaman persepsi banyak orang.

Sastra pada masa itu, sebagaimana kondisi sastra di tingkat nasional secara umum, bersifat eksklusif. Sastra hanya milik orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya "paham" sastra. Selain mereka hanya bicara tentang kulit. Hal ini tentu tidak mengherankan. Seorang dedengkot sastra pernah menyatakan, selain penyair dilarang bicara tentang puisi. Pernyataan tersebut seakan dogma yang menghegemoni pola pikir semua sastrawan.

Kondisi ini diperkuat dengan kondisi masa Orde Baru dan kuatnya ajaran-ajaran HB Yassin sebagai paus dan penahbis seseorang dapat disebut sastrawan atau tidak. Maka, kelahiran kritikus-kritikus baru di ujung usia Orde Baru seperti angin segar yang membawa rerintik air dan menumbuhkan benih-benih bakat yang tidak tersentuh oleh tangan dingin sang paus sastra tersebut.

Kemudian Orde Baru tumbang dengan lahirnya Reformasi yang membuka katup-katup ruang berekspresi. Media masa semakin banyak dan beragam dengan suara yang teduh hingga sumbang. Sarana-sarana publikasi menjadi terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya. Semua itu mendukung munculnya sastrawan-sastrawan muda.

Tidak terkecuali di Lamongan. Beberapa tahun terakhir geliat sastra Lamongan sangat terasa menonjol dibandingkan sebelumnya. Indikasi tersebut tampak pada beberapa fenomena berikut:

Pertama, publikasi karya-karya sastrawan mudanya. Di antara karya-karya tersebut dapat disebutkan; Absurditas Rindu yang diterbitkan secara Indie oleh Sastranesia. Di dalamnya memuat beberapa puisi sastrawan muda baik yang namanya telah terpublikasi di media masa atau tidak. Juga antologi puisi tunggal seperti, Interlude di Remang Malam (puisi AS. Sumbawi), Tamasya Langit (Javed Paul Syatha), Kitab Suci Para Malaikat (Nurel Javissyarqi), Sembah Rindu Sang Kekasih, (Imamudin SA). Ada juga novel Dazedlove karya Rodli TL. dll.

Kedua, berdirinya penerbitan buku-buku sastra. Lamongan memiliki tiga penerbit yang konsentrasi dalam menerbitkan karya sastra: Pustaka Pujangga, Sastranesia, dan Pustaka Ilalang.

Sebenarnya, fenomena tersebut tidak dapat lepas dari keberadaan beberapa orang yang memberikan andil besar dalam perubahan gerakan. Mereka mendirikan Forum Sastra Lamongan. Forum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin terlibat, tanpa memandang apakah dia sastrawan atau bukan namun yang penting memiliki rasa simpati terhadap sastra.

Latar belakang kelahiran forum ini lebih bersifat global. Fenomena hegemoni di tingkat media sudah semakin berbahaya. Sebagai contoh, Bajaj Bajuri di Trans TV pada waktu itu dapat dikatakan sebagai sinetron komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB (Office Boy) di RCTI. Kedua sitkom itu bersetting budaya Betawi. Karakter orang Betawi selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang Jawa yang selalu naif (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka). Dalam Bajaj Bajuri ada tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif berhadapan dengan Parti yang suka mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri. Dalam OB tokoh Saodah yang gembrot dan Ismail yang kaku selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.

Dari latar belakang tersebut kemudian muncul inisiatif untuk melakukan gerilya budaya di tingkat local atau daerah. Budaya-budaya lokal yang selama ini tergerus oleh budaya pembangunanisme Orde Baru coba digali dan dikaji ulang. Meskipun budaya lokal, namun lebih mengedepankan pada keterbukaan, asimilasi, atau akulturasi dengan budaya lain.

Sebagai penjembatan harapan tersebut, Forum Sastra Lamongan (FSL) menerbitkan Jurnal Kebudayaan The Sandour yang mewakili ekspresi sastrawan mapan tingkat nasional. Jurnal ini terbit sekali dalam tiga bulan dengan memuat tulisan berbentuk puisi, esei, artikel, cerpen, atau monolog. Sedangkan bagi kalangan remaja yang berminat terhadap sastra diterbitkan Jurnal Sastra Timur Jauh. Sementara bagi kalangan masyarakat umum diterbitkan majalah Gerbang Massa yang berusia sekali terbit setelah itu tidak ada kabarnya lagi.

Lain dari itu, sebagai bukti penghargaan Forum terhadap generasi muda maka Forum menganugerahkan Van Der Wijk Award untuk remaja-remaja yang berkarya dan berkualitas. Sementara kegiatan instrumen berupa bedah buku atau launching yang diadakan di sekolah-sekolah: Madrasah Aliyah Negeri Lamongan, Madrasah Aliyah Simo Sungelebak, dan Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Pada saat itu menghadirkan Raudal Tanjung Banua dan Ida Idris sebagai pembicara.

Selain Forum Sastra Lamongan muncul Sastranesia yang dibidani oleh AS. Sumbawi dkk. Akan tetapi, nama tersebut bermetamorfosa menjadi penerbit buku-buku sastra. Ruang lingkup Sastranesia sendiri hamper dapat dikatakan saling jalin dengan Forum Sastra Lamongan.

Gerakan-gerakan sastra tersebut tidak lepas dari peran para sastrawan mudanya. Beberapa nama yang dapat disebutkan adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, AS. Sumbawi, Javed Paul Syatha, Imamudin SA, dll.

Nurel Javissyarqi. Sastrawan muda paling produktif ini—saat ini telah menulis 13 buku di samping menulis di berbagai media dan jurnal—lahir di Lamongan. Jiwa susastranya digembleng di Yogyakarta bersama dengan Y. Wibowo, Muhaimin Azzet, dll. dalam bendera KSTI (Komunitas Sastra Tugu Indonesia). Semangatnya yang besar menemukan muara di kampung kelahirannya dan mendirikan penerbit PUstaka puJAngga yang menerbitkan karya-karya sastra, baik sastrawan lokal maupun nasional. Karya terakhirnya adalah Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga: 2007).

Rodli TL. Dia menemukan jiwa seninya di Jember dan bahkan pernah dipercaya sebagai Ketuanya. Beberapa kali dia menulis naskah sekaligus menyutradarai, di antaranya Adam Hawa. Kesibukannya sangat padat di bidang pendidikan dengan Sanggar Bahasa Kampung yang mendidik anak-anak kecil di desanya untuk memahami bahasa dan sastra. Di samping itu dia seorang dosen Universitas Darul Ulum Lamongan yang dipercaya menjadi pembimbing komunitas STNK (Studi Teater Nafas Kata), salah satu lembaga mahasiswa di bidang kesenian di samping Teater Roda. Pergulatannya dalam sastra dibuktikan dengan terbitnya novel Dazedlove.

AS. Sumbawi. Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memulai pergulatannya di bidang sastra ketika bergabung dengan Sanggar Suto dan Sanggar Nuun. Saat ini dia menjadi pengajar sekaligus pemilik penerbitan Sastranesia. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi media massa dan tergabung dalam antologi bersama, seperti: Dian Sastro for President: End of Trilogy (Insist: 2005), Malsasa 2005 (FSB: 2006), Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela: 2006), dan Khianat Waktu (DKL: 2006).

Javed Paul Syatha. Dia menggeluti sastra dengan bergumul bersama sastrawan-sastrawan lokal Lamongan. Dia memiliki nama-nama lain, seperti Saiful Anam, Ifoel Moenzoek, dan terakhir Javed Paul Syatha. Sehari-hari sebagai pengajar dan membimbing komunitas AUM. Beberapa karyanya tercatat dalam Malsasa 2005 (FBS: 2005), Khianat Waktu (DKL: 2006), Pelayaran Bunga (DKJT: 2007), dll.

Imamudin SA. Sastrawan muda ini murni berjiwa Lamongan, tidak terbaur dengan dunia luar dan banyak berkarya melalui media lokal. Di antara karyanya termuat dalam Lanskap Telunjuk (DKL: 2004), Khianat Waktu (DKL: 2004), dan beberapa antologi tunggalnya. Saat ini dia menjadi koordinator kajian Candrakirana.

Selain nama-nama tersebut masih banyak lagi sastrawan muda yang memiliki gairah sastra luar biasa: Ariandalu, Heri Listianto, Anis CH, D. Zaini Ahmad, dan masih banyak yang lain dari kalangan generasi muda.

Dari penjelasan singkat di atas ada beberapa nama yang berproses kreatif dengan bersinggungan bersama dunia luar. Mereka menjalin pola relasi dengan sastrawan-sastrawan dari daerah lain atau sastrawan nasional sekalipun. Di antaranya adalah kehadiran beberapa tokoh sastrawan nasional ke daerah Lamongan, seperti Raudal Tanjung Banua, Abdul Aziz Soekarno, Joni Ariadinata, Mardiluhung, dll.

Gerakan baru ini dapat dikatakan masih seumur jagung. Di masa depan ada tantangan-tantangan berupa keberlanjutan eksistensial dan esensial. Secara eksistensial adalah konsistensi gerakan yang mengarah pada pengembangan sastra, sedangkan secara esensial adalah bentuk karya yang dihasilkan apakah berkualitas sastra atau sekadar euporia pada kesenangan baru. Persoalan ini sepenuhnya tergantung pada mereka.

Tidak ada komentar:

Pasar Seni Indonesia