Minggu, 17 Agustus 2008

SASTRA PERLAWANAN TERHADAP LUPA

Kajian atas DAZEDLOVE karya Rodli TL
Haris del Hakim*

Pengantar

Saya tidak mungkin menjelaskan atau menafsirkan bagaimana isi novel Dazedlove secara keseluruhan. Saya tidak ingin menciptakan satu asumsi tertentu sebelum pembaca membaca novel ini. Karena itu, saya hanya memberikan catatan-catatan yang saya anggap perlu dan menarik bagi saya. Anda pasti memiliki rasa tertarik yang berbeda dari saya dan tidak mungkin saya memaksakan ketertarikan saya kepada Anda, kecuali saya hanya merekomendasikan novel ini sangat penting yang mana nilai pentingnya akan saya jelaskan kemudian.
Belajar Logika

Novel dikenal sebagai salah satu dari karya fiksi di samping puisi, cerpen, naskah drama, dan karya seni lain. Karya fiksi dianggap berlawanan dengan non-fiksi yang diartikan sebagai fakta atau realitas, di antaranya matematika, fisika, biologi, dll. Kedua istilah tersebut beserta pengertiannya masih perlu dipertanyakan, karena dalam perkembangannya kemudian pengetahuan non-fiksi ternyata tidak benar dalam menjelaskan realitas, dalam artian hanya kesimpulan (dalam bidang fiksi biasa disebut sebagai anggapan) sementara. Sebagai contoh, pada zaman dahulu bumi dianggap datar seperti talam, tetapi zaman kemudian merevisinya menjadi bulat. Karena itu, definisi pengkotakan antara fiksi dan non-fiksi sangat kabur. Kedua istilah itu dapat muncul dari seseorang yang kemudian dibenarkan oleh orang-orang setelahnya dan tentu sangat naif apabila kita juga mengamininya.

Sebagai alternatif kita mengakui keduanya sama-sama sebagai penafsir dari realitas yang tidak enggan mengakui kekeliruan dan kebenaran yang datang kemudian. Sebab, akibat dari pengkotakan itu adalah klaim kebenaran dari salah satu pihak.

Seorang ahli fisika dianggap lebih cerdas, bermasa depan cerah, dan selalu berkata benar, padahal tidak menolak kemungkinan di kemudian hari seorang yang pintar fisika harus mangkrak sekolahnya karena tidak ada biaya dan terjerembab sebagai kuli tambak saja. Logika lurus yang terbangun di benak kita adalah bidang non-fiksi lebih mapan, seperti runtutan angka-angka beserta perhitungannya. Dalam logika matematika menyebutkan rangkaian angka 1-2-3-4-5-6-7-8-9, dst, atau a-b-c-d-e-f-g-h-i-j dst, atau 2x2=4, 2x1=2, dst. Ditilik dari sejarah, angka dan abjad itu tidak lain hasil simpulan orang-orang terdahulu untuk memahami sesuatu yang kemudian dikuatkan dengan argumentasi dan pendapat orang-orang setelahnya. Secara tidak langsung, secara turun temurun manusia mendukung satu kesepakatan tertentu. Bukankah bila orang dahulu mengatakan 3-2-1-9-8-7-4-5-6, atau 2x2=6 dan 2+1=5, kemudian orang-orang menguatkannya, pasti terjadi rangkaian alfabetis dan angka yang berbeda dengan yang kita ketahui sekarang?

Sementara itu, seorang yang menggeluti dunia fiksi dianggap semrawut dan tidak beraturan. Logika yang dibangun pun tidak sistematis dan ngawur. Pertama kali yang muncul dalam benak kita ketika disebutkan kata seniman adalah sosok yang awut-awutan dan tidak terawat. Mereka sangat tidak mapan.

Dalam novel Dazedlove hal ini dijelaskan dalam narasi sebagai berikut:
“Kamu orang Lamongan dan aku orang Probolinggo. Tentunya tahu nama kereta api Logawa jurusan Surabaya-Jember. Begini soalnya; Kereta Logawa berangkat dari stasiun Jember jam 05.00 WIB. Kebetulan di pagi itu hanya membawa 25 penumpang. Kereta api berangkat tooot jek jek jek jek. Itulah suaranya, dan sampai pada stasiun Rambipuji kereta api berhenti. 13 penumpang telah siap dengan karcis dan langsung naik ke gerbong kereta api. Ingat-ingat Hima, dan analisa dengan cermat. Kereta api berangkat jam 05.20 jek jek jek jek……tooooooot jek jek jek….tepat pukul 06.00 sampai stasiun Klaka. Di stasiun Klaka penumpang turun 3 dan naik 11. Berangkat lagi jek jek jek…. toooot jek berhenti di stasiun Probolinggo penumpang turun 10 dan naik 7. Berhenti sekitar 15 menit karena menunggu kereta executive lewat. Jek jek jek……berangkat dengan berjalan agak lamban karena jalan menuju stasiun Bangil agak naik. Di stasiun Bangil tidak ada penumpang yang naik dan yang turun sebanyak 5 penumpang. Akan tetapi kelompok pengamen yang berjumlah 5 orang naik dengan membawa beberapa alat musik, diantaranya 2 guitar, 1 ketimpung, 1 bungo, 1 harmonika dan satu kecrek. jek… jek.. tooooot jek… berangkat dengan kecepatan bertambah. 17 menit sudah sampai stasiun Sidoarjo. Penumpang tidak ada yang turun dan tidak ada yang naik. Kereta langsung berangkat dan tepat pukul 09.00 sudah sampai stasiun Gubeng.”
“Sudah aku perkirakan pertanyannya. Yang akan kamu tanyakan adalah berapa jumlah jek jek jek..yang kamu bilang, betul kan?”
“Tentu tidak. Salah weeee…! Pertanyaanya adalah berapa penjual salak di stasiun Klaka yang naik dan berapa kali mereka bilang “laaaak sallaak manieees! laak sallaaak, salaknya maniees lek!” Ayo berapa jumlahnya, bisa menjawab? Pasti tidak bisa. Jadi kesimpulannya benar bahwa kamu tidak pandai dalam ilmu matematika.

Dari sini kita dapat memahami logika seorang fisika adalah berapa jarak yang mereka tempuh, tetapi ternyata pertanyaannya jauh dari itu. Bahkan, usulan yang nyeleneh,
“Sudah aku perkirakan pertanyannya. Yang akan kamu tanyakan adalah berapa jumlah jek jek jek..yang kamu bilang, betul kan?”
pun tidak tepat. Penjual salak yang tidak disebutkan justru menjadi fokus pertanyaan. Ternyata, masing-masing orang mempunyai logika sendiri-sendiri yang tidak cukup tepat bila dipaksakan dalam dua kotak fiksi dan non-fiksi.

Tentang Dazedlove

Novel Dazedlove karya M.Rodli merupakan sepenggal kisah seorang Ibrahima yang lahir dan besar di Lamongan kemudian menjalani masa perkembangan dan kematangan inteletualnya di Jember. Hampir 90% novel ini mengangkat pengalaman dan pergulatan seorang mahasiswi mulai masa perkenalan kampus hingga menjelang semester akhir.

Setting waktu menempati tahun 1998 di mana pada saat itu adalah puncak reformasi. Secara rinci penulis mengungkapkan bagaimana peristiwa reformasi berlangsung di salah satu kawasan yang mungkin tidak terekspos oleh media massa nasional, karena sibuk meliput peristiwa Semanggi dan aksi demonstrasi di ibukota-ibukota provinsi, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dll. Ibrahima yang digambarkan sebagai gadis cantik itu pun tidak lepas dari realitas itu, bahkan dia terlibat langsung dalam aksi-aksi yang mendebarkan. Trik dan intrik dijalaninya hingga kemudian “Sang Musuh” bersama lengser yang menandai kemenangan reformasi.

Tentu saja, bumbu-bumbu cinta ikut mewarnai novel ini. Akan tetapi, perannya tidak signifikan sehingga kita tidak perlu kecewa bila tidak menemukan bagaimana ending kisah cinta Ibrahima. Siapa pasangan mahasiswi cantik yang memikat itu tidaklah penting untuk dijawab, meskipun tidak menolak adanya tebakan siapa yang mendampingi wisudanya.

Secara bahasa kita diajak untuk lebih dekat dengan bahasa ala Jawa. Novel ini mungkin dimasukkan dalam novel teenlit atau seventeen literatur yang berbau gue-gue banget. Tetapi, gaya bahasa teenlit yang dikuasai oleh orang-orang Jakarta itu tidak berlaku dan berubah menjadi Jawa. Bahkan, tidak kalah keren sebab kita temui beberapa paragraf bahasa Inggris yang biasanya dibanggakan oleh orang-orang pusat kompeni Belanda tempo dulu itu. Penulis lokal dan jauh dari pusat kekuasaan secara geografis tidak kalah dengan orang-orang yang hidup di kawasan pusat (baca: Jakarta).

Momentum kehadiran Dazedlove pada sewindu reformasi merupakan catatan tersendiri. Dunia buku setelah lahirnya reformasi dipenuhi dengan buku yang mengutuk kebobrokan Orde-Baru dan Soeharto sebagai ikon tunggalnya. Penguasa yang dipuja selama tigapuluh tahun itu benar-benar habis dan harus berkali-kali masuk rumah sakit untuk menghindar dari besarnya gelombang reformasi. Hampir semua buku yang mengisi kejayaan Orde Baru masuk dalam loakan berganti dengan sanjungan pada Bung Karno sebagai ikon kemerdekaan bangsa. Akan tetapi, sewindu kemudian arah dunia buku mulai berubah. Pada saat ini mulai bermunculan kembali buku-buku yang hendak mengkultuskan Soeharto beserta keluarganya. Buku-buku yang mengulas kehidupan mereka termasuk buku best-seller.

Fenomena dunia perbukuan tersebut tidak bisa kita anggap keliru. Reformasi yang digembor-gemborkan dapat mencutat bangsa Indonesia dari krisis ternyata nol dan kehidupan semakin sulit saja, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang, sehingga romantisme masa senang yang semu di masa Orde Baru dicari-cari untuk diangkat sebagai dewa kembali. Kita tidak perlu terjebak untuk membahas mengapa pasca-reformasi menjadi seperti ini yang ujung-ujungnya menyalahkan reformasi itu sendiri.

Dazedlove seakan melontarkan kita kembali ke masa-masa lahirnya reformasi. Pada saat itu tidak ada seorang pun yang berani melawan kebijakan Soeharto yang didukung oleh segenap perangkat hingga ke desa-desa disertai dengan aparat-aparat yang menyelundup ke mana-mana. Para pegawai negara merasa bingung harus berpihak pada Orde Baru yang menghidupinya atau reformasi yang semakin menetas di seluruh nusantara itu. Aparat yang diwakili dengan tentara tentu saja dibawa komando Orde Baru yang masih berkuasa dan bertindak brutal terhadap segala aksi pendukung reformasi. Kebrutalan itu tidak hanya secara fisikal, tetapi juga mental terhadap aktor-aktor pembela rakyat. Karena itu, pada saat itu tidak ada yang paling dibenci oleh bangsa Indonesia selain tentara dan pegawai negeri. Bahkan, di beberapa tempat dikabarkan tentang masyarakat yang berbaris di pinggir jalan setiap pagi agar dapat melemparkan telur busuk kepada pegawai negeri yang berangkat ke kantor. Dazedlove menggambarkan peristiwa reformasi secara apik.

Karena itu, terbitnya Dazedlove adalah pengingat bagi kita agar tidak melupakan sedetik peristiwa yang pernah dialami oleh bangsa yang tidak henti dirundung bencana ini. Kita tidak gampang melupakan dan berubah menjadi pendukung tanpa koreksi pada pihak-pihak yang pernah menghalangi kita untuk menghancurkan kelaliman Orde Baru. Ibaratnya, novel ini seperti rem di atas jalan yang menurun dan mulus. Kita harus mempunyai catatan tentang reformasi sebelum bangsa Indonesia berbalik memuja kembali Orde Baru yang menindas secara sistematis itu. Kita harus jujur tentang kondisi ketika reformasi sebelum reformasi dikutuk dan tidak menemukan pembela, agar kita tidak ikut-ikutan menjadi bebek yang dungu terhadap sejarah kita sendiri.

Penutup

Catatan ini mungkin tidak memuaskan, tetapi saya telah berupaya untuk memotret Dazedlove sebagai novel di tengah arus perbukuan dan kondisi bangsa. Pembacaan yang lebih intens dan matang baru bisa terjadi bila kita sama-sama telah membacanya.

Surabaya, 11 september 2006
*)Dewan redaksi Jurnal Kebudayaan The Sandour

Tidak ada komentar:

Pasar Seni Indonesia