Gemuruh
sorak sorai dan tepuk tangan penonton saat para penari tari persembahan dari
mahasiswi PBIG pagi mengawali Praacara festival Budaya “Kearifan Budaya Sebagai
Identas Keluhuran” FKIP Unisda 2018. Festival ini dibuka pada 25/8 Malam dan
berakhir hingga 26/8 dini hari. Festival ini secara resmi dibuka oleh Rektor
Unisda Ainun Masruroh, MH. Gelaran ini menampilkan orasi budaya, bazar kuliner,
tari, musik akustik, Baca Puisi, Musikalisasi Puisi, Teater, Fashion show dll.
Sebelum
penampilan-penampilan seni, acara ini didahului orasi budaya Dr. Musthofa,
dalam orasinya ia mengatakan bahwa pentingnya menjaga dan melestarkan kearifan
lokal (local genius) karena mengandung filosofi yang tinggi. Ia mencontohkan
tampah sebuah alat untuk mengayak atau menyaring beras dengan gabah ompong
maupun kerikil. Tampah dalam budaya jawa mempunyai filosofi yang tinggi, dimana
dalam sebuah kehidupan, masyarakat harus memahami aturan dan batasan norma agar
menjadi manusia yang bermartabat. Tampah menjadi pengingat proses memfilter,
yaitu memilih dan memilah yang baik, kemudian membuang yang jelek atau buruk.
Lelaki yang dikenal sebagai pakar semiotika dan filologi ini, juga menjelaskan
makna tumpeng yang berasal dari sebuah singkatan ‘yen metu kudu mempeng’ bila
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti ‘ketika keluar harus
sungguh-sungguh semangat. Tak heran jika nasi tumpeng dari dulu hingga saat ini
sering dijadikan hidangan dalam suatu perayaan yang memiliki makna ucapan
syukur ataupun kebahagiaan. Sebab, makna tumpeng sendiri adalah baik, yakni
ketika terlahir manusia harus menjalani kehidupan di jalan Tuhan dengan
semangat, yakin, fokus, dan tidak mudah putus asa.
Dalam
orasinya Dr. Musthofa juga menjelaskan makna dari perlombaan tujuh belasan
tempo dulu, misalnya lomba makan kerupuk, tarik tambang, lomba ambil uang logam
dengan mulut. Dalam lomba makan kerupuk, tersimpan beberapa makna dan filosofi.
Lomba ini mengajarkan tentang suatu kesederhanaan dan kesetaraan. Dalam lomba
ini, tangan tidak diperbolehkan untuk ikut. Di sini diajarkan, bahwa setiap
perjuangan harus membutuhkan kesabaran. Ini dapat menjelaskan bahwa kesuksesan
tidak dapat diraih secara instan. Lomba makan kerupuk ini berusaha mengajarkan
bahwa kesuksesan bisa diraih oleh semua orang walaupun dengan segala
keterbatasan. Namun untuk meraihnya, masih dibutuhkan perjuangan, kesabaran dan
doa. Filosofi tarik-tambang dan lomba ambil uang logam dengan mulut tentunya
mengingatkan kita bahwa kemenangan akan susah untuk diraih. Bagaimana sakitnya
tangan tergesek dengan tambang, terpeleset sehingga badan penuh lumur, mulut
menjadi hitam karena mengambil logam yang telah dibaluri arang.
Pasangan
duet pembawa acara naik ke panggung, mengantar penonton yang semakin
bersemangat untuk memasuki acara berikutnya. Sebagai pembuka dramawan Rodli TL
tampil membaca puisi karya WS Rendra “Sebuah Titipan” dengan ekspresi wajah
yang terus berubah-ubah, suaranya terdengar lepas, tak lepas gerakan tangan
menghiba, menengadah , menunjuk ke atas, seakan sedang memvisualkan isi puisi
yang sedang ia bacakan. Rodli TL yang dijuluki Dewa Teater Lamongan ini mampu
membawa penonton ke dalam ruang perenungan “Sebuah Titipan” bahwa sebagai
manusia, kita hendaknya senantiasa mensyukuri nikmat/pemberian Tuhan, kita
harus menyadari bahwa sesungguhnya segala yang kita miliki merupakan titipan
dari Tuhan, sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu menjaga titipan
Tuhan, selalu menjadi manusia yang ikhlas dalam menerima anugerah maupun cobaan
(derita), kita harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan secara ikhlas.
Penampilan
berikutnya musikalisasi puisi dari Fransiska yang bertemakan kemerdekaan. Dalam
puisi yang dibaca cukup apik oleh mahasiswi cantik asal PBSI sore ini, sebagai
cambuk generasi muda bahwa kitalah yang harus meneruskan perjuangan para
pahlawan kemerdekaan. Berikutnya pembacaan puisi Aziz Tsalis dosen Prodi Bahasa
dan Sastra Indonesia ini mendapat sambutan yang cukup meriah dari penonton,
sebelum membacakan puisi karyanya sendiri yang berjudul puisi matematis, ia
memberikan joke joke lucu yang mengundang gelak tawa para penonton. Penampilan
puisi berikutnya dari Dr. Zainal Arifin yang dikenal sebagai peneliti yang
telah banyak menerbitkan buku metode penelitian ini tampil membacakan tiga buah
puisi karyanya sendiri yang berjudul “Sajak Perjalan”, “Selamat Pagi
Indonesiaku”, dan “Telaga Impian” tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya Dr.
Zainal merupakan seorang deklamator puisi yang mempunyai segudang prestasi, hal
ini bisa ditilik dari biografinya, Dr. Zainal semasa muda pernah menjadi juara
1 membaca puisi tinggkat provinsi, dan juara 2 membaca puisi tingkat nasional.
Penampilan
berikutnya yaitu monolog teater yang dipentaskan oleh Irwan mahasiswa PBSI yang
berjudul “Mengejar Bus” walaupun pentas monolog serta merta dan persiapan yang
hanya satu jam sebelum acara dimuai namun keberanian mahasiswa ini patut
diapresiasi. Berikutnya penampilan musik, Dr. Sutardi atau dalam dunia sastra
lebih dikenal dengan nama Sutardi RM, ia membawakan sebuah tembang lawas yang
berjudul “Biarkan Bulan Bicara” sebuah tembang yang mengisahkan seorang
perempuan yang menyesal atas perbuatannya meninggalkan kekasihnya dan dia ingin
kembali lagi kepada kekasihnya itu walaupun harus mendapat hukuman, fenomena
cinta ini lebih fenomenal dari gerhana atau pasang surut terbit muncul bulan
itu sendiri. Penampilan berikutnya musik akustik dari Fariq Shiddiq Tasaufy
salah satu dosen muda PBIG.
Pentas
monolog “Balada Sumarah” dari UKM Teater Roda Unisda, Komunitas yang banyak
melahirkan seniman-seniman nasional ini menjadi pentas yang paling
ditunggu-tunggu, monolog yang diaktori Alfionis Saidah dan disutradarai oleh
Sri Utami Lestari Ningsih ini menjadi pentas utama malam itu. Dengan emosi yang
berubah-ubah Sumarah menceritakan kisah hidupnya sebagai seorang TKW yang
divonis mati karena kesalahannya membunuh majikannya. Di depan pengadilan dia
sama sekali tidak ingin melakukan pembelaan, namun ia meminta kesempatan untuk
sekedar menceritakan balada kehidupannya. Dalam pentas ini kejutan-kejutan
ditampakkan oleh sutradara seperti lagu “genjer genjer” yang sangat erat
hubungannya dengan pemberontakan G30SPKI, membuat emosi penonton meledak-ledak,
kemudian visualisasi hukuman penggal yang mengerikan menjadi penutup pementasan
monolog “Sumarah” malam itu.
Beberapa
penampilan selanjutnya pun tidak kalah seru, diantaranya banjari dari Smt. III
PMAT, Fasion Show dari Smt. V Pagi PBSI, Karaoke dari Smt. V Pagi PBSI,
dan Smt. VII Pagi PBSI, penampilan musik akustik dari Smt. III Pagi PMAT, Smt.
III Pagi PBIG, Smt. V Pagi PBSI, tak kalah meriah penampilan menyanyi dari Smt.
III Pagi PBSI, dan Smt. V Sore. Rangkaian acara panjang itupun sampai di muara,
tentunya di event selanjutnya masih banyak hal yang perlu diperbaiki panitia
salah satunya mengenai keterkaitan tema dengan muatan acara yang seharusnya
tidak bertolak belakang. Tapi apapun itu patut mendapat apresiasi tinggi atas
segala jerih payah panitia dalam penyelenggaraan Festival Budaya FKIP Unisda
2018 Bravo…!!!! Tabik. (LA*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar