Nurel Javissyarqi *
Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos
Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya
‘Paus Sastra Indonesia’ yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi,”
Grafiti 1995, tentunya lagi berseberangan. Bayangan ini menjulur pada peristiwa
lampau “Ketika Jogja Menghakimi Jakarta,” karena lupa tanggal bulan tahun
kejadiannya, saya telusuri di google, dimulai Jam 20.00 tanggal 28 Mei 2003 di
Auditorium IAIN SuKa (UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta.
Sebenarnya acara malam
itu menggelar diskusi dua buku puisi terbitan Jendela dan Bentang Budaya,
“Suatu Cerita dari Negeri Angin” karya Agus R. Sarjono, “Reruntuhan Cahaya” karya
Jamal D. Rahman, yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Kebudayaan Akar
Indonesia, moderatornya cerpenis Joni Ariadinata. Tapi sayang, titel tema yang menyimpang
tersebut terkena hukum bandul menurut saya, yakni malahan “Jogja yang dihakimi
Jakarta,” lantaran mental minder tua rumah yang masih terkungkung watak kedaerahan,
kala melihat orang-orang dari pusat, letak pemerintahan RI, pintu gerbang NKRI,
punjernya media-media massa Nasional beserta ornamen-ornamennya.
Sidang acara 15 tahun silam itu entah kenapa saya mengikuti,
padahal sudah balik kampung ke Lamongan sejak awal 2002, mungkin ada jadwal
lain yang patut dikunjungi. Dalam acara KJMJ, saya hanya datang seperti hadirin
lain, atau bisalah disematkan sebagai pengamat sastra amatiran abadi. Mungkin
bayangan saya ini kurang layak, sebab tidak lagi tinggal di Jogja, pun bukan roda
penggerak kesusastraan di Ngayogyakarta secara umum. Dan seumpama “Buku Pertama
MMKI: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia” dibahas
di PDS, ini hanyalah mimpi, impian pun tak sampai ke situ, maka jadilah
‘ngimpi’ nun jauh di sebrang angan, ataukah inilah takdirnya, selepas
berlarut-larut mengerjakan tulisannya, tiada jemu membenahi berulang-ulang, mengekalkan
kekisaran sekeliling pula menembus bebatas perkiraan, sambil ditemani berbatang
rokok di sebelah wedang kopi pengusir penat. Dan firasat acara di PDS, serupa
berkah kemurahan hati cerpenis Siwi Dwi Saputro, sang ketua proyek penulisan
buku “Pada Detik Terakhir, Antologi Cerpen Duet” terbitan Bajawa Press 2017, serta
komentar dari Tengsoe Tjahjono mengenai MMKI, sedang diri ini lunglai tiada
mampu berbuat lebih, selaksa terlanjur syukur teramat jujur ‘matur suwon’ yang terdalam
sebaik-baiknya.
Kenapa bayangan bedah buku tak sampai ke PDS? Sebab saya
tetap merasa cuma pengelana yang kebetulan suka baca, atau ada segarit pesimis,
kalau pandangan saya diuji sebegitu dekat dalam kehidupan ini, karena tidak
mungkin digubris pendapat saya di masa-masa masih bernafas, olehnya diri selalu
terbiasa menempatkan perihal yang tertulis baru diserap para pembaca setelah
tiada, ketika sudah nyaman memandangi gemintang beredar di tengah malam tanpa kebisingan,
seperti ramalan menyerupai bom waktu yang dihawatirkan penyair Mardi Luhung
dalam beberapa kali obrolan. Namun demi menggenapi, buku-buku yang tidak
dilirik itu rencananya dipersiapkan di hadapan sidang susastra, barangkali di
depan para guru besar sebangsanya. Mendadak saya disergap hembusan angin tiba-tiba,
suasananya nanti sunyi pengunjung, atau energi terterima belum mencapai kebulatan,
ataukah ini harapan manis demi tegap melanjutkan, melancarkan serangan
sekaligus menggali benteng parit-parit jebakan bagi perdebatan harmonis
tentunya.
Mendung hitam ramalan Mardi kian menebal kental, saat
saya menawarkan MMKI agar dibedah di STKIP Ponorogo kepada Doktor Sutejo, yang
dengan nada bercanda dia berkomentar; “Tulisane wong edan!” Dilanjutkan jalan
sambil tertawa renyah memandang saya yang pernah melakoni perjalanan hayat
serupa “Wayang kelangan gapite” istilahnya, sewaktu bermukin di kantornya SSC.
Tapi diselang masa setelah baca buku itu, dia menanggapi kalau tulisan saya
teramat serius penggarapannya, dan barangkali penulis asli Kota Warok merasa
kurang nyaman jika MMKI didiskusikan di kampusnya, dihawatirkan membikin
persinggungan paham terhadap kritikus Maman S Mahayana pun Aming Aminoedhin,
yang otobiografinya Presiden Penyair Jawa Timur akan diterbitkan SSC, dan kabar
lain saat bertemu pemilik Pustaka Ilalang, Alang Khoiruddin berkomentar bahwa bukunya
Aming itu sempat terbit secara terbatas. Lalu pikiran ini menerawangi sikap
motivator ulung Sutejo seolah berucap; “Kau kan sudah sering mengisi acara di
sini, maka cukuplah, dan saatnya ke tempat-tempat yang belum terjajaki bukumu
sekaligus menjelajah.”
***
Sedikitnya tiga kali saya ke PDS H.B. Jassin, dua kali tak
sempat mampir; Pertama membeli buku di dekatnya bersama cerpenis Teguh Winarsho
AS setelah dari kantor surat kabar Suara Pembaruan untuk mengantarkan sebendel karya
novelnya yang kemudian terbit di koran itu secara bersambung “Di Bawah Hujan”
edisi 10 April 2000 - 7 Juni 2000. Kini penulis novel “Kantring Genjer-genjer,
dari Kitab Kuning sampai Komunis,” PuJa, Februari 2007, menjadi bos penerbitan
buku di Jogja berbendera Lafal Indonesia, Araska, Parasmu, Pinang Merah, dan
diantara teman-teman yang karyanya diterbitkan ialah Sri Wintala Achmad, Abidah
El Khalieqy, Otto Sukatno Cr, Mahmud Jauhari Ali. Saya jalan-jalan ringan sekitar
PDS waktu itu, sambil kepul-kepulkan debunya sekalian mambayang suatu hari akan
menggelar acara di situ (kalau tak keliru seturut kabar terdengar lamat-lamat,
‘Paus Sastra Indonesia’ sedang dirawat di Rumah Sakit, tapi tak terjenguk
lantaran saya bukan siapa-siapa, kejadian ini hampir persis semasa saya dan rombongan
Sanggar Alam asuhan pelukis Tarmuzie mengunjungi museum Affandi tahun 1990,
tatkala beliau juga dirawat di RS). Dan keinginan menggelar kegiatan di PDS
pelahan-lahan surut melarut pudar bersamaan kesuntukan diri memasuki alam teks tanpa
pedulikan sekitar, ataukah dengan gerak menjauh, Gusti Maha Welas Asih
mendekati batin Siwi, demi menyadarkan diri ini pada lamunan sempat buyar tenggelam
di kesendirian. Hukum tarik-ulur inilah sandaran sekaligus motivasi dalam gua kesunyian,
yakni tentu berjumpa orang-orang yang sepadan suntuk pula peroleh lebih dari
perkiraan biasa.
Sekitar pertengahan September 2005 kembali ke Jakarta, ini
dirunut tanggal 5 Oktober memasuki Ramadhan, dan di buku “Trilogi Kesadaran” halaman
331, adanya esai “Revolusi dan Sakit Gigi,” sungguhlah teringat penulisannya di
kantor SPL (Serikat Petani Lampung), tempat adiknya kawan Y. Wibowo yakni
Sigit, jaraknya berkisar 2 KM dari UNILA ke selatan, dan beberapa kali ke
BaLam, bertemu para penulis, Udo Z Karzi, Asarpin, Oky Sanjaya, SW. Teofani dll.
Sebelum ke Bandar Lampung, di Ibukota menemui Teguh yang kali itu sudah bermukim
di Jakarta, tidak seperti paragraf di atas tinggal di Yogyakarta, lalu janjian
dengan Binhad Nurrohmat bertemu di Taman Ismail Marzuki, ngobrol sana-sini, jalan-jalan
di PDS pun tak lupa mencari buku-buku lawas, dan setelah dirasai cukup kami saling
berpisah. Sebelum itu, saya titip kepada Teguh untuk mengurusi ISBN, sebab dimulai
tahun 2004 saya telah terbitkan beberapa buku kelas stensilan; cover sablonan,
dalamnya fotokopian (jejak ini terekam di bukunya Maman S Mahayana “Bermain
dengan Cerpen, Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia,” Gramedia, Juni 2006,
pada catatan kaki di halaman 56; Sebuah fenomena menarik… Hak Cipta dilindungi
Akal Budhi, ISBN: Insyaallah diridhoi allah SuBhaNahuwata’ala. Saya meminta
tolong ke Teguh, selain mengusahakan ISBN PUstaka puJAngga, juga penerbit teman
Lamongan, Alang Khoiruddin dengan Pustaka Ilalang, dan segeralah penulis
kumpulan cerpen “Tato Naga,” Grasindo 2005, berhasrat membikin penerbitan berlabel
Lafal Indonesia, kemudian ketiganya menemui takdirnya masing-masing. Di sebelah
PDS itulah, saya masih mengidam rasa tidak untuk bedah buku, namun membaca
puisi dengan rambut gondrong ikal memanjang seperti para pujangga tempo dulu.
Kedatangan ketiga di Ibukota untuk membedah buku “Trilogi
Kesadaran; Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak” PuJa (PUstaka
puJAngga), Okrober 2006, di toko kitab dekat kampus Universitas Indonesia.
Dalam kesempatan itu, saya berkenalan dengan Donny Gahral Adian yang termasuk
pembedahnya, di sana dia banyak mendukung pandangan buku tersebut, tidak lebih berpaham
kalau filsuf Timur sebagaimana diri saya (saya hanya tersenyum, lalu
berpendapat bahwa kampus-kampus besar di Indonesia, semisal UI, UGM, dll, sudah
sepantasnya memiliki Mazhab Sastra, Mazhab Filsafat). Sebenarnya, acaranya tidak
hanya mendiskusikan “Trilogi Kesadaran,” juga novel “Dazedlove; Reportoar
Mahasiswi Demonstran,” Pustaka Ilalang, 2006, karya Rodli Tl, tapi penulisnya tidak
hadir. Serampungnya acara, meluncur ke kontrakannya Teguh, di sana dikenalkan cerpenis
Damhuri Muhammad yang tidak jauh dari tempatnya, lalu menuju ke kediaman kritikus
Maman S Mahayana, atau kali kedua ke rumahnya di daerah Bojonggede, pertama
selorong paragraf di atas, dan jalan sendiri mengantarkan bendelan puisi yang
akan terbit bertitel “Kitab Para Malaikat,” PuJa, Desember 2007. Di
padeponkannya, saya banyak menyerap pelbagai pengetahuan kepenulisan, menggali sungguh
cerita para penyair di Jakarta, pula apa saja, sebab dia termasuk ‘loman’ tidak
pelit dalam membagi-bagikan keilmuannya. Jadi teringat ungkapannya terhadap
para penyair yang sok bergaya dengan kata-kata; penyair udik!
Barangkali decak gelombang laut tak pernah sama, dan saya
bersyukur sempat berjumpa orang-orang penting dalam dunia sastra Indonesia
walau setengah tak sengaja, atau kesengajaan selepas bersesuaian ombaknya.
Sebelum dapati undangan baca puisi di acara Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr.
Abdul Hadi WM di Paramadina 9-11 Juni 2008, saya tengah mendalami buku
disertasinya “Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya
Hamzah Fansuri,” Paramadina, Mei 2001. Undangannya dari Maman, sayangnya di
baliho, di koran-koran pemberitaannya tiada nama Nurel, itu diri dimaklumi,
sebab saya bukan siapa-siapa, atau bisa jadi lembar undangannya tersebut inisiatif
kritikus, dan malam itu pembawa acaranya Acep Zamzam Noor, saya termasuk paling
muda dari para pembaca puisi, ditutup Sutardji Calzoum Bachri. Selepas acara,
kritikus produktif MSM berkata kalau diri saya dinaungi dewi fortuna, barangkali
sebab sikap saya baca puisi tanpa mau diiringi musik, yang diakhirnya SCB
berkata bahwa puisi yang baik, tanpa musik sudah baik. Dalam kesempatan
berkumpul dengan para penyair, saya serap aura-auranya, dan di selang waktu berbeda,
bertemu kembali beberapa dari mereka dalam suatu acara di TIM, sehingga ada kesempatan
lagi menjajakinya, disaat itu berjumpa penyair seangkatan di Jogja, Akhmad
Sekhu. Sebelum menghadiri acara di Paramadina, beberapa tamu luar kota
berkumpul di rumah kritikus yang nantinya menerbitkan buku “Pengarang Tidak
Mati, Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia,” Nuansa Cendekia, Juli 2012, di situlah
awal kali mengenal Sutejo bersama Kasnadi dari bumi Batoro Katong, keduanya mengidap
rasa penasaran atas keberadaan PUstaka puJAngga, karena sebelumnya melihat buku
PuJa di Gramedia, dan lain kesempatan menuju Lamongan, yang membuat jiwanya terbakar
menerbitkan karya-karyanya lebih jauh (baca esainya “Berkaca Menulis dari
Nurel” pada bukunya “Inspiring Writer,” SSC dan Pustaka Felicha, 2010).
Ke lima menghisap Jakarta, menghadiri undangan sebagai
peserta JILFest yang pertama di Kota Tua, 11-14 Desember 2008, ini pun atas
rekomendasi kritikus MSM. Saya ‘kelingan,’ suatu hari Afrizal Malna sms, meminta
beberapa puisi untuk dimasukkan ke program kegiatannya yang bertaraf Internasional
juga, dan saya tak masuk seleksi, entah tahun berapa, yang jelas ketika almarhum
Fahrudin Nasrulloh masih sehat. Dalam acara Jakarta International Literary
Festival, saya berkenalan dengan sastrawan ampuh Putu Wijaya, dan memberanikan
diri meminta tulisannya di blog pribadinya untuk diusung ke beberapa website
saya kelola, syukurlah diberi izin seluas-luasnya. Dan saya ingat betul
pendapatnya soal posisi kesusastraan Indonesia dalam kancah pergaulan susastra
dunia adalah belum apa-apa. Dari situ, saya meloncat turun menggali banyak
informasi melalui buku-buku lama, dll, meneliti tanggal usia waktu kejadiannya,
dsb, ketika WS Rendra, Budi Darma, dst, di luar negeri, dan nyatanya suara
terbanyak membesarkan kabar berita di dalam negeri semata. Lain itu,
mempelajari kegiatan berkelas Nasional pula Internasional, tidaklah berpengaruh
ke pribadi pengarang, atau karyalah lebih bisa berbicara. Sehingga, melihat
politik sastra kian semrawut, saya tak heran atau keheranan pun tidak menyentuh
pengelana. Oya, di JILFest itu juga bertemu Sihar Ramses Simatupang yang nantinya
membongkar buku MMKI, dan semoga berjumpa penulis kelahiran Ngimbang, yang saya
penasarani, Eka Budianta.
***
Setelah mengenang yang pernah terjadi, kini menyentuh
judul bakal mengalami, atau bisa juga batal menjadi, lantaran manusia hanyalah
wayang yang dimainkan Sang Dalang, mudahnya hati berbolak-balik, kelahiran
serta ketiadaan di genggaman Tuhan Semesta Alam, atau saya kerap menikmati
sesuatu itu berawal dari panggung belum digelar, pentas teater dimainkan,
sampai berkemas-kemas menyudahi, semuanya pelajaran demi depan. Kekecewaan juga
kegembiraan dunia perangainya sementara, tinggal rupa-rupa di linggiran pantai tepian
jurang menawan, berharap bisa mengambil hikmah sebelum surutnya tembang. Jika
bedah buku Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra MMKI di PDS H.B. Jassin
terlaksana, yang rencananya hari Senin 9 April 2018, Jam 15.00-18.00. Siwi beserta
para panitia (Komunitas Deo Gratias), saya dudukkan di batin ini sebagaimana
guru lukis Tarmuzie, almarhum KH. Abdul Aziz Masyhuri, almarhum guru nulis KRT.
Suryanto Sastroatmodjo. Almarhum Gus Zainal Arifin Thoha, kritikus Maman S
Mahayana, pula Sutejo, dst, atau orang-orang baik yang secara tak sengaja
mengantarkan saya menafaskan harapan hampir punah. Atau barangkali, sudah tak
mengharapkan selain bernikmat-nikmat berkarya, bersunyi-sepi menghisap madu
kesendirian dalam ruang-ruang kata, ataukah sudah sangat lama, apakah baru
memulai rasa yang dirasakan Albert Camus, “…aku menjadi seorang seniman, tanpa
penolakan, tanpa persetujuan.” (Pengantar bukunya “L’Envers et l’Endroit”
1935-1936, terbitan awal 1937 di usianya 22 tahun, pengakuannya itu merujuk tahun
1935. Kalimat tersebut terdapat dalam terbitan ulangnya di tahun 1958, pada
usianya yang ke 45, atau dua tahun sebelum mangkat).
Bisa jadi inilah selayang warna selendang absurdisme; “tanpa
penolakan tanpa persetujuan,” sejenis berkeinginan menghapus kemapanan yang diterimanya,
atau dia tidak mau kalah pamor dengan eksistensialisme Jean Paul Sartre, sang penolak
Nobel Sastra, dapat terjadi juga serupa olok-olok, pula jauh keduanya lebih mempercayakan
hakim penentu, yakni waktu bersegenap perangainya, dan saya sebagai pembaca
seperti selampir masa nan tertunda, nafas-nafas dipompa jantung berguna, pula bisa
peroleh sia-sibe menemui masa-masa kadaluarsa. Ingatlah pandangan Putu Wijaya,
maka biasa sajalah, bro! Lewat ini, lebih mudah melalui tanpa dihantui apa saja
selain dosa, dan tiada menemukan raut kewibawaan putus asa di atas panggung
sandiwara, sebab semuanya sudah diserahkan disaat melangkah. Karena sudah memasuki
paragraf sebelas, cukuplah! Lalu mari berdiskusi tanpa membawa rasa takut
melebihi orang gila yang duduk di bawah gelantungan kabel listrik tegangan
tinggi, atau bayi yang ditinggalkan orang tuanya di pinggir jalan, makna kata;
marilah belajar sambil menghajar, dihajar demi terus belajar sampai ke liang
lahat. Ah, jadi terngiang, ‘kata’ penutup pada kuliah umum yang tak boleh saya
mengikutinya di STKIP Ponorogo, dari almarhum Prof. Dr. Ayu Sutarto; “Prek!”
***
5 Maret 2018
*) Pengelana waktu, tinggal di dusun Pilang, desa
Tejoasri, Laren, Lamongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar