Rachman Sabur*
Pikiran Rakyat, 31 Mei 2008
UNTUK kesekian kalinya Putu Wijaya diundang ke mancanegara untuk menampilkan hasil proses kreatif teaternya. Teater Mandiri, teater modern Indonesia.
Selama ini Putu Wijaya tetap konsisten membawakan teks teaternya sendiri yang idenya bermuara dari latar belakang dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia. Dari sejak ia membuat teks teater konvensional dan sampai sekarang berkembang pada teks teater yang nonkonvensional, dan acap kali dimunculkan ragam idiom-idiom teater tradisi menjadi sesuatu kekuatan lain yang memberikan ruh pada Teater Mandiri Putu Wijaya.
Teater Putu adalah teater perubahan. Selalu gelisah memasuki kehidupan yang resah. Keresahan yang terciptakan dalam pertunjukan teaternya bukan tanpa sebab. Begitu banyak alasan kenapa Putu Wijaya masih tetap militan dan produktif bersama Teater Mandirinya, salah satunya adalah karena kesetiaannya sebagai seorang seniman panggung tak dapat terbantahkan siapa pun.
Kepeduliannya terhadap kemacetan dan kebuntuan masalah-masalah sosial-budaya yang membuat bahasa teaternya menjadi kontekstual-universal dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat mana pun. Ide-ide gagasan teaternya tercipta dari hal-hal sederhana namun hakiki. Keyakinan teaternya adalah proses dan proses serta latihan-latihan yang spartan menjadikan pertunjukannya mempunyai daya sihir dan satiris.
Konsep artistiknya berangkat dari konsep “Badingkut”, murah secara material, mahal secara ide. Apa pun bisa jadi. Barang-barang bekas yang dianggap sampah bisa jadi emas bagi artistiknya. Itu karena sentuhan dan imajinasi visualnya begitu kaya dan sublim. Simbol-simbol dan lambang-lambang idiom tradisi mewarnai di setiap pertunjukannya. Almarhum pemusik Harry Roesli adalah inspirator musik untuk pertunjukan-pertunjukan teater Putu Wijaya. Keduanya saling bersenyawa, berkolaborasi melakukan penjelajahan proses kreatif, mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk saling memberikan kekuatan teatrikalitasnya. Putu Wijaya dan Harry Roesli adalah dua sisi mata uang. Mempunyai kecenderungan ekspresi yang nyaris sama. Kadang mereka menjadi liar, beringas, menggebu-gebu, herois, kadang juga antihero. Mereka selalu saling memberikan umpan untuk mengembangkan ide-ide kreatifnya dalam pertunjukan.
Dalam pertunjukan “Zero” kali ini, penataan musiknya dilanjutkan oleh pemusik Moro dari DKSB yang telah lama malang melintang bergabung bersama Harry Roesli. Sebagai seorang sutradara sekaligus aktor teater, Putu Wijaya sangat fasih menciptakan peristiwa teater yang seharusnya. Ide-ide gagasan teaternya memberikan inspirasi dan imajinasi yang cerdas bagi penontonnya. Selama 37 tahun bersama Teater Mandiri, Putu terus berupaya mencari dan menemukan bentuk teaternya yang meng-Indonesia. Menghidupi teater selama 37 tahun bukan waktu yang pendek bagi seorang Putu Wijaya. Selama itu pula ia terus menyosialisasikan dan mengaktualisasikan teaternya lewat pertunjukan Teater Mandiri ke berbagai pelosok daerah Indonesia, serta ke berbagai negara yang mengundangnya untuk menampilkan karyanya. Ini prestasi yang luar biasa bagi Putu Wijaya. Inilah proses perjalanan panjang Teater Mandiri yang terus melakukan pengembaraan teaternya.
Membayangkan dan menikmati pertunjukan teater Putu Wijaya bisa jadi tidak akan pernah selesai, meskipun pertunjukan itu telah selesai di panggung, imajinasi dan nurani kita sebagai penonton akan digedor-gedor sesudahnya. Itulah yang akan terjadi, penyadaran mental yang tersakiti akan terbawa dalam bayang-bayang kehidupan yang jungkir-balik, absurd, sia-sia.
Putu Wijaya seorang optimistis. Ia telah membuktikannya selama 37 tahun tanpa merasa lelah, tetap survive. Vitalitas dan energinya semakin membeludak, melebihi takarannya sebagai seorang aktor, sutradara, dan penulis naskah teater Indonesia yang tangguh. Bahasa tubuh, bahasa kata-kata, ide-ide gagasan artistiknya terus tumbuh, terus mengalir tak pernah kering. Bahkan, jadi “Oase Ide” bagi siapa pun yang terus mengembara dari panggung ke panggung, dari lakon ke lakon. Seperti halnya wayang-wayang bergerak, bukan semata kehendak dalang, tapi bayang-bayang dari wayang-wayang itu selalu datang menghadang untuk melanjutkan lakon selanjutnya tanpa Gunungan, tanpa Tutup Lawang Sigatoka.
Lakon “Zero” dimulai ketika perang yang dikutuk hanya membawa kesengsaraan bagi yang kalah maupun yang menang. Perang masih terus saja berlangsung dimana-mana dengan berbagai alasan. Manusia membenci perang dan memimpikan perdamaian. Namun, jalan yang ditempuh untuk mencapai perdamaian satu sama lain berbeda, bahkan bertentangan. Dengan dalih menciptakan perdamaian, manusia pun akhirnya berkelahi untuk memenangkan upaya perdamaian yang dianggapnya paling benar dan adil. “Zero” adalah sebuah esai visual yang mencoba mengajak setiap orang untuk kembali ke wilayah nol tanpa keinginan tertentu kecuali menghormati dan mencintai sesama dengan berpegangan dari hati ke hati untuk mengakhiri peperangan.
Pertunjukan “Zero” akan memberikan bahan renungan terhadap makna peperangan yang sesungguhnya. Sejak peradaban pertama, manusia tidak lepas dari adanya peperangan dan perebutan kekuasaan manusia dengan manusia lainnya. Peperangan di antara mereka, peperangan antarbangsa, antarsuku, antaretnik, antaragama, dan sesama agama. Betapa panjang perjalanan sejarah peperangan di muka bumi ini. Korban akan terus bertambah setiap waktu, setiap saat. Peperangan pun tidak akan pernah selesai selama manusia tidak bisa memerangi dirinya sendiri.
Pada 10 Juni 2008, Teater Mandiri akan berangkat ke Praha, Republik Cheska membawa pementasan “Zero” dalam rangka “50 Let Kultumi Dahoda Mezi Indonesia-Cekoslovenskem” (50 tahun kerja sama kebudayaan RI-Ceko). Pementasan yang diikuti oleh workshop untuk mengenalkan teater Indonesia di mancanegara akan diteruskan ke Bratislava. “Zero” yang diciptakan pada tahun 2003, telah dipentaskan juga di Tokyo, Taipei, Hongkong, Kairo, Singapura, dan beberapa kota di Indonesia. Sebelumnya akan dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 7 Juni 2008, menyambut Hari Kesaktian Pancasila. “Zero” juga akan dipentaskan di STSI Bandung pada 1 Juni 2008 pukul 20.00 WIB.
Para pemain yang terlibat dalam pementasan “Zero” antara lainYanto Kribo, Alung Seroja, Ucok Hutagaol, Wendy Nasution, Fien Herman, Bei, Kardi, Agung Wibisana, Umbu LP, Tanggela, Putu Wijaya.
*) Rachman Sabur, Sutradara Teater Payung Hitam
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/05/zero-teater-mandiri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar