Jakob Sumardjo*
Pikiran Rakyat, 31 Mei 2008
PERADABAN manusia dimulai dengan peradaban air. Sejarah umat manusia dimulai dengan peradaban peramu dan pemburu yang usianya ratusan ribu tahun. Kecenderungan peradaban ini adalah konsumsi. Manusia hidup dari memangsa apa yang disediakan alam raya. Akan tetapi, alam begitu perkasa dan kaya sehingga manusia yang jumlahnya belum begitu banyak dapat menyusu alam raya dengan merdeka.
Planet bumi masih hijau dan alam raya masih perkasa. Bumi belum ditaklukkan manusia. Namun, hidup manusia masih sibuk dengan mengumpulkan bahan makanan dari alam. Akibatnya, jalan peradaban berlangsung lamban. Sebagian besar hidup manusia di bumi ini dihabiskan dengan meramu dan berburu. Alam pikiran tidak berkembang. Sebaliknya, alam perasaan dan intuisi merambah ke spiritualitas, yang melahirkan mitos-mitos dalam religi purba.
Peradaban air baru muncul 7.000 atau 8.000 tahun yang lalu. Manusia mulai hidup menetap, tidak lagi nomad seperti peradaban sebelumnya. Peradaban air dimulai saat itu, yakni hidup produktif bersama keperkasaan alam. Mereka menetap di tepi-tepi sungai besar dan mengembangkan peradaban hidraulik atau sawah basah. Sejak saat itulah kebudayaan manusia mulai dikenal.
Kebudayaan manusia mulai berkembang pesat sejak peradaban air. Dalam waktu singkat, yakni sekitar 8 ribu tahun, pikiran manusia berkembang begitu pesat sehingga pendulum hubungan manusia dan alam terbalik. Dulu alam menguasai manusia dan kini manusia menguasai alam dengan pikirannya. Bumi terancam. Inilah yang kita risaukan sekarang.
Surga manusia itu berlangsung pada masa peradaban air. Pada masa itu terjalin hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara alam dan manusia. Manusia menjaga kelestarian alam dan alam memberikan kesuburan tanaman pada manusia. Bulan madu bumi dan manusia ini berlangsung cukup lama sampai munculnya revolusi industri pada abad ke-18. Revolusi industri yang diagung-agungkan manusia sebagai pencapaian puncak peradabannya, ternyata mengancam keberadaan planet bumi ini.
Dalam waktu 300 tahun peradaban industri, kekayaan bumi diisap habis-habisan sampai tetes-tetes terakhir air susunya. Bumi mulai sakit, dan sekarang terancam sekarat. Ibunda bumi mulai menderita kekeringan dan kehilangan kesuburannya. Semua itu terjadi akibat manusia, melalui alam pikirannya yang semakin cerdas, mengejar apa yang dinamai sebagai kebahagiaan duniawi. Manusia mengejar kebutuhan dan kemudahan tubuhnya.
Peradaban air telah diganti dengan peradaban industri. Alat-alat mesin yang memproduksi asap kimia menjadi simbol kebanggaan manusia. Di Indonesia pun manusia ikut berlomba menjadikan tanah air ini negara industri, sejajar dengan negara-negara industri yang telah lama membanggakan diri atas pendapatan per kapitanya. Tidak ada modus lain di dunia ini untuk tetap hidup dalam peradaban air yang sudah kuno dan ketinggalan zaman.
Cerita Superman pada suatu saat akan kita alami. Kita akan membuat teknologi yang dapat mengirimkan anak cucu kita mencari planet primitif di alam semesta ini. Pada suatu saat nanti tidak ada lagi tumbuh-tumbuhan, tidak ada lagi air di bumi, kecuali air kimiawi sehingga manusia harus menciptakan piring-piring terbang mencari tumbuhan dan air. Air yang dahulu gratis, pada saat itu bisa menjadi penyebab “perang bintang”.
***
BETAPA mulianya air. Pentingnya air bagi hidup ini dapat digali dari peradaban air dalam sejarah umat manusia. Dalam primbon-primbon Indonesia, air merupakan salah satu unsur keberadaan ini, sejajar dengan tanah, angin, dan api. Kombinasi dari unsur-unsur itu adalah hidup, kelestarian, keselamatan, kesuburan. Manusia selalu merindukan tanah basah. Tanah air.
Dari mana asalnya air? Nenek moyang orang Indonesia mengenal betul asal air, yaitu dari gunung-gunung berhutan perawan yang mengalirkan sungai-sungainya ke laut. Itulah sebabnya hunian-hunian tua di Indonesia selalu berada di tepi sungai. Tempat ideal manusia adalah bertemunya dua sungai. Kraton-kraton besar selalu dibangun di antara dua atau empat atau delapan aliran sungai. Di situlah hidup dan kemakmuran dimungkinkan.
Dalam sejarah Mataram kuno dikenal adanya prasasti yang disebut Tuk Mas (Mata Air Emas) di lereng Merbabu-Merapi. Mata air adalah tambang emas. Mata air adalah kesuburan, kemakmuran, hidup, kekayaan yang tak terhingga nilainya. Di Sunda dikenal Sumur Bandung, atau tujuh mata air yang berjajar. Ada kepercayaan bahwa pengantin harus dimandikan dengan air yang berasal dari tujuh “sumur” tadi agar subur rahimnya seperti sawah-sawah yang menghasilkan bulir-bulir padi besar.
Hunian-hunian di Sunda selalu menyebut kata keramat yang bermakna cai atau air. Di Melayu nama-nama hunian manusia tak sedikit yang memakai nama “air” ini. Begitu pula di daerah-daerah lain di Indonesia. Air bukan hanya untuk hidup, tetapi air adalah kehidupan itu sendiri. Dalam masyarakat agraris, air adalah segalanya. Air memproduksi tanaman (padi) dan padi adalah hidup manusia. Mitos-mitos asal mula padi ada dimana-mana di Indonesia. Padi adalah emanasi dari tubuh Dewi Sri, Po Haci, bidadari langit, dengan demikian transenden nilainya. Air dan padi adalah spiritualitas, bukan sekadar produk pikiran manusia. Pikiran manusia tak mampu menghidupkan padi. Padi itu urusan dunia atas.
Kerajaan-kerajaan besar di Indonesia berdasarkan agraria ini. Siapa menguasai agraria berarti menguasai manusia. Dan agraris itu tergantung pada air, sungai, gunung-gunung, dan hutan. Itulah sebabnya batas Negara ditengarai oleh batas sungai-sungainya. Pembagian negara dipisahkan oleh sungai. Sungai dan air adalah batas kekuasaan raja-raja zaman peradaban air Indonesia .
Di kampung-kampung Sunda (dan daerah-daerah lain di Indonesia) orientasi kampung adalah gunung, sumber asal usul air. Perkampungan didirikan di tepi sungai (Cibatu, Cikalong, Cidurian) dengan kampung paling tua ke arah hulu sungai, kampung paling muda di arah hilir sungai. Kampung tua selalu dekat dengan hutan atau sengaja dihutankan. Di situlah dikuburkan para buyut kampung (kabuyutan). Buyut itu dekat sumber mata air yang berada di gunung. Manusia dan air adalah inti peradaban pertanian.
Dalam lembaga-lembaga sosial besar maupun kecil, kerajaan dan kampung orientasi pada air, sungai, gunung, hutan menjadi keharusan. Pertanian sawah (hidraulik maupun pertanian ladang orientasi hidupnya tetap sama. Mereka melestarikan gunung dan hutan demi air. Air bukan hanya minuman, tetapi juga makanan. Peradaban air pada dasarnya “makan air”.
Peradaban air adalah “jalan tengah” antara peradaban peramu pemburu dan peradaban industri. Peradaban peramu, alam menguasai manusia. Peradaban industri manusia menguasai alam. Peradaban air, manusia hidup bersama alam dan dengan alam. Harmoni alam-manusia ini berlangsung cukup lama di Indonesia, sekitar 5 ribu tahun, yakni sejak manusia Indonesia menghuni kepulauan ini. Multatuli menamakannya sebagai zamrud khatulistiwa.
Kodrat Indonesia adalah negara tropis yang kaya raya dengan fauna dan flora. Hanya ada dua musim. Kaya dengan gunung-gunung dan hutannya. Dengan demikian, kaya dengan aliran-aliran sungai. Kearifan nenek moyang Indonesia untuk hidup dalam peradaban air adalah puncak pencapaiannya. Alam pikiran Indonesia dibentuk oleh peradaban air ini. Itulah kearifan lama Indonesia.
Sejak kolonisasi Belanda tahun 1800, sedikit demi sedikit peradaban air diarahkan pada peradaban industri modern. Industri pertanian dan industri tambang mulai menggeser peradaban air kita. Industri dan perdagangan mulai membunuh peradaban air.
***
RAFFLES melaporkan pada tahun 1813 bahwa pulau Jawa 7,8 wilayahnya masih merupakan hutan. Sekarang ini barangkali hutan tinggal 1/8 saja di pulau Jawa. Dalam jangka waktu 200 tahun peradaban air telah berganti menjadi peradaban industri. Hutan-hutan pabrik ada dimana-mana di pulau Jawa ini yang dahulu tata tentre kerta raharja ini. Kini, telah menjadi kacau balau melarat miskin dan memproduksi TKI yang luar biasa banyaknya.
Orientasi industri adalah kekayaan modal, budaya uang. Uang adalah air dalam peradaban agraris. Modal uang inilah yang telah membuat gungung-gunung kita mandul dan sungai-sungai mengering. Hutan-hutan ditebangi demi uang, modal dasar industri. Itulah sebabnya kita menyibukkan diri pinjam modal luar negeri dalam mengejar ketertinggalan kita sebagai negara industri. Merajalelanya korupsi menyebabkan kegagalan membangun negara industri. Sementara peradaban pertanian telah ditinggalkan. Dari mana kita membayar pinjaman? Dari mana kita mampu bertahan hidup? Sementara para petani telah lama kita bunuh.
Ini semua disebabkan alam pikiran kita masih berperadaban tani, sedang tujuan kita peradaban industri. Industri itu muncul dalam sejarah Eropa yang telah lama meninggalkan peradaban pertaniannya dalam abad pertengahan. Indonesia yang tani tiba-tiba harus menjadi industri, dan kita tidak siap dengan strategi perubahan ini. Model industri kita adalah Eropa-Amerika-Jepang. Sementara mentalitas kita masih air. Mengapa tidak kembali pada peradaban air?
Peradaban air akan membuat Indonesia kembali sebagai zamrud khatulistiwa. Gunung-gunung akan hijau kembali, hutan-hutan tumbuh lagi, sungai-sungai akan mengalir kembali. Produk kita bukan industri tetapi bahan mentah industri. Para petani kita hidupkan kembali dari kematian yang lama. Petani-petani modern yang multikultur, bukan monokultur padi saja.
Peradaban air adalah kodrat manusia khatulistiwa. Dengan sikap ini sekaligus kita menyumbang pada peradaban dunia yang telah diracuni oleh limbah industri. Menteri Pertanian dan Kehutanan adalah presiden kita yang sesungguhnya. Bukan presiden tani yang dikendalikan menteri-menteri industri pada Era Soeharto.
Para petani Indonesia akan berdasi dan mengontrol pertaniannya naik mobil dan helikopter. Istana-istana mewah bukan hanya dibangun di pusat-pusat kota kaum elite penguasa dan pengusaha, tetapi akan tersebar di daerah perdesaan. Orang-orang kota akan melamar kerja pada petani-petani elite desa. Arus urbanisasi dengan sendirinya berhenti. Pedagang-pedagang kaki lima mengalir ke desa-desa menjadi buruh tani yang berstatus pegawai pertanian. Semua pelabuhan Indonesia dipenuhi produk pertanian yang siap diekspor ke negara-negara industri.
***
BARANGKALI itu semua cuma impian di siang bolong. Sebab, dalam waktu yang tak begitu lama, hutan-hutan Indonesia akan gundul dan menjadi padang gersang. Sungai-sungai di pulau Jawa akan menjadi lahan perumahan. Perumahan murah akan dibangun 300 meter dari puncak-puncak gunung. Hutan bakau disulap menjadi perumahan mewah tepi pantai. Anak-anak dan cucu kita hanya mengenal makna air dalam kemasan botol. Mereka tidak kenal lagi makna hutan dan sungai yang dibacanya dalam dongeng kanak-kanak.
Peradaban air kita sedang sekarat, runtuh. ***
* Jakob Sumardjo, Budayawan
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/05/esai-keruntuhan-peradaban-air.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar