Jumat, 11 November 2011

Magi dari Timur

Sutardji Calzoum Bachri
Riau Pos, 08/09/2003

Jika para wali di langit tinggi
Jika para wali berarak di awan
Jika para wali menapak langit tinggi
Mari ikut bersama-sama.
(disarankan dinyanyikan seperti When the Saints Go Marching In)

BEGITULAH dia Pak Tua itu menyanyi dengan harmonika berjalan menapak-napak pantai. Sementara burung poididi, si raja udang, elang, gagakgulana, makadawaktu, murai dan lainnya meloncat-loncat girang dan bising dengan kicau lagu masing-masing, seakan tak peduli dengan irama nyanyi dan langkah loncat Pak Tua di pantai antara pasir dan bebatuan.

Angin pantai senja itu jinak. Tapi sejinak-jinaknya angin pantai, tetaplah dapat menyibak-nyibak perdu, ranting dan dedaunan berangan dan pelepah pepohonan kelapa kembar, mendesah dan menderu dalam gumam yang dalam. Maka engkau takkan dapat mendengar penuh nyanyi dan harmonika Pak Tua kalau kalian tak dapat masuk ke dalam dirinya.

Dalam diri Pak Tua ada ruang yang luas dan lapang yang dibuat dan dimuat oleh kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, pencapaian dan pelepasan yang ikhlas dan tenang.

Memang tak gampang masuk ke dalam ruang jiwa Pak Tua, namun jika engkau sanggup bersabar, jika kalian punya waktu dan memiliki hal-hal dan kejadian yang dapat kalian resapkan, engkau bakal bisa masuk ke dalam diri Pak Tua itu dan dapat jelas mendengar nyanyi dan harmonikanya.

Lihatlah, ia terus menyanyi, menapak-napak di pasir pantai meloncat-loncatkan kaki tua yang masih tegap itu pada punggung kokoh bebatuan:

Bila para wali di langit suci
Jika para wali berarak di awan
Bila para wali di langit suci
Mari ikut bersama-sama.

Burung poididi, raja udang, makadawaktu, gagakgulana, kakaktua, dan burung sukadukatuaku, berkicau-kicau bising dan indah memberikan warna suara pada langit senja jingga merah keperak-perakan. Pelepah-pelepah kelapa kembar, dedaunan berangan dan perdu pantai disibak rebak angin mensiar-suirkan nyanyi sendiri-sendiri tanpa peduli.

Namun di antara sibuk bising nyanyi angin, pepohonan, dan para burung itu, nada dan nyanyi burung makadawaktu-lah yang mengatas segala.

Suaranya yang aneh, acuh tak acuh, dan terdengar netral, berderam keluar dengan tenang dan penuh wibawa dari paruh yang panjang melengkung bagaikan pedang:

Waketu waktu waktu waktu waketuku waktu, mengatas segala suara kicau dan nyanyi yang ada di sekitarnya.

Tapi seperti sudah kukatakan tadi, jika engkau dapat masuk ke dalam diri Pak Tua, hirau kicau deram desah burung, pepohonan dan alam yang di luar kelihatan bising tak peduli, saling sendiri menyanyi, semuanya jadi terasa selaras sepadan dan menyatu dalam nyanyi Pak tua itu.

Lelah dan puas menyanyi, Pak Tua menggeletakkan tubuh girangnya di pasir pantai, melelap dalam kesejenakan tidur. Ia kelihatan sebagai batu bernafas di sela banyak bebatuan yang terhampar di pantai.

Dalam tidurnya ia sering mengeluarkan dengkur yang aneh, bagaikan kord-kord harmonika yang tak dapat dilacak nadanya.

Memang dulu ketika muda bekerja sebagai pelaut di kapal tanker Yunani “Philosophia’, menyanyi dan mabuk-mabukan dengan teman-teman pelaut sekapal dari berbagai bangsa, ia tak pernah mau menyelaraskan suaranya yang aneh itu dalam nyanyi bersama.

Dalam mabuknya ia berkicau tak ada do bersama. Bahkan tak ada do sebenar do. Begitu juga re dan seterusnya. Paling yang do mirip do yang tak sebenar do yang hampir do yang walau do bukan do yang meski do bukannya do tapi do, namun do tak juga do, tak sampai do namun do mirip do apalah do kalau tak do.

Biasanya kalau ia sudah berkicau begitu, teman-temannya setanker Philosophia akan bilang: “Engkau benar, engkau ini Magi dari Timur”. Dan ia dalam mabuknya tertawa sementara pikirannya bilang pada dirinya sendiri: “Bukan hanya dari Timur, juga dari Barat, Utara, Selatan.”

Tapi tentulah itu tak dilafazkan pada teman-temannya sekapal. Karena ia tahu, sebagaimana teman-temannya tahu: Bagi para bijak cukuplah satu arah, untuk menunjukkan banyak arah yang ada.

Kini batu bernafas itu yang punggungnya mengarah tenggelamnya senja, terus tenggelam dalam lelap diiringi dengkur harmonikanya.

Dengkur yang bersuara harmonika itu sudah lama, lama sekali tak terpisahkan pada tidurnya. Dulu puluhan tahun yang lalu, ketika SD kelas tiga ia pertama kali mengenal harmonika. Ibunya membelikannya sebuah harmonika 3 dollar Straits Settlement, mata uang yang berlaku waktu itu di semenanjung Malaya, Singapura, Brunei dan Riau.

Sejak itu setiap bulan ia menghabiskan 3 sampai 4 harmonika. Tetapi ibunya tak pernah menolak kalau ia minta uang untuk harmonika.

“Engkau menghabiskan harmonika seperti orang makan jagung rebus,” bilang abangnya yang iri.

Tapi ibunya bilang: Biarlah. Di antara kalian dialah yang akan pergi jauh dan lama. Dia akan berpisah jauh dari kita. Mungkin untuk selama-lamanya. Memang sengaja aku biarkan bising dan sibuk dengan harmonikanya. Aku biarkan dia, sambil bergantungan di akar hawa pepohonan Riau seperti Tarzan, menyanyi-nyanyi dan menghisap harmonika. Aku biarkan dia berenang di lautan, timbul tenggelam bagaikan lumba-lumba, sambil menghisap harmonika. Aku biarkan dirinya, parunya, dan harmonikanya kuyup dengan laut, selat, sungai, akar, dan pepohonan Riau. Nanti, biarpun ia pergi jauh, dia takkan terpisahkan dari kita. Setiap ia menampilkan dirinya dan harmonikanya, selalu ada kita di sana.

Sejak berusia 50 tahun ia mulai mendengkurkan harmonikanya. Tapi sejak usia itu pulalah ia tak pernah bermimpi. Tidurnya selalu kosong mimpi tapi sarat pada makna hayat kediriannya.

Mimpi hanya untuk luka yang ingin disembuhkan, angan-angan dan harapan, untuk kejadian-kejadian yang diharapkan dan dicemaskan akan datang, juga untuk hiburan. Tetapi aku, aku sudah lama tak membutuhkan mimpi. Aku telah melepas-atasi luka, aku telah lama mencapai atasi sampai. Aku tak membutuhkan hiburan karena aku adalah kegirangan. Aku tidak menanti dan tak mengharap. Karena aku adalah yang dinanti dan diharapkan, katanya dalam omong-omong dengan Paul Wisdom, teman akrabnya sesama mantan pelaut Philosophia ketika suatu hari kebetulan bertemu di Batam.

“Engkau memang benar-benar Magi dari Timur, seperti dulu sudah kubilang waktu di kapal,” kata Paul Wisdom.

Dan seperti biasa, kembali kilatan dalam pikirannya bilang: “Bukan hanya dari Timur, tetapi juga dari Selatan, Utara dan Barat”. Tetapi seperti biasa pula tak diucapkan lantang pada temannya. Karena ia tahu, bagi para bijak seperti Paul Wisdom cukuplah satu arah untuk menunjukkan banyak arah yang ada.

Ketika tidur Pak Tua selalu tersenyum. Bukan hanya di wajahnya yang kerut merut dihiasi alur usia, tetapi sekujur tubuhnya, kaki, bahu, perut dan tangan dan lengannya tersenyum. Semakin lelap semakin mengembang senyum di sekujur tubuhnya. Bahkan tattoo perempuan telanjang di tangan kirinya—kenang-kenangan di masa pelautnya—yang tadi ikut berkeringat ketika Pak Tua meloncat-loncat menyanyi, ikut pula tersenyum.

Kedua buah dadanya yang ikut keriput bersama usia Pak Tua, kini serupa dengan kembang senyum, mengundang hasrat keakraban bagi yang menatapnya.

Maka tak heran kalau Alina, gadis kecil 5 tahun, yang sengaja melepaskan diri dari pengasuhnya, sedikitpun tak gentar ketika menemukan batu bernafas itu.

Ia berjongkok di depan Pak Tua, mendengarkan dengan cermat dan asyik pada dengkur harmonika dari batu keras bernafas namun penuh dilimpahi senyum akrab di sekujurnya. Ia terpukau pada buah dada tattoo yang mengembangkan senyum. Alina mengusap-usap lengan yang tersenyum seakan menjawab suatu jabat tangan. Sebesar-besarnya buah dada dari tattoo di lengan tentulah takkan besar benar. Tapi bagi Alina, buah dada tua yang mengembangkan senyum itu menjadi besar penuh susu segar. Ia menundukkan muka ke buah dada kiri tattoo dan mulai menghisapnya. Pak Tua terbangun.

-Itu hanya gambar- kata Pak Tua sambil tersenyum.

Tanpa malu-malu dan tidak terkejut Alina bilang: “Aku ingin menyusu, Kek”.

-Kau sudah lama tak perlu menyusu- kata kakek.

-Memang sudah lama aku tak menyusu. Tapi sekarang aku ingin.

Pak tua mengalihkan hasrat Alina, memainkan harmonika dengan lembut dan membisikkan lagu di sela-sela riff-nya. Alina senang kegirangan.

-Siapa namamu?

-Alina.

-Usiamu?

-5 tahun.

-Kakek namanya siapa?

-Nama.

-Nama Kakek?!

-Ya Nama.

-Aku bilang nama Kakek siapa?- gusar Alina.

-Ya Nama.

Alina tambah gusar dan kesal.

-Orang harus punya nama, Kek. Namaku Alina. Kakek namanya apa?

-Nama- jawab kakek sambil memungut ranting dan menuliskan: N-a-m-a, di atas pasir pantai.

-Ah masak nama Kakek Nama. Biasanya nama orang itu Abdul, Alek, Wina, Hadi, Hamid, Rahman. Tapi Kakek namanya Nama. Tak lazim, Kek.

Kakek tersenyum dan tertawa. Ia tahu sedang menghadapi anak yang cerdas. Kata ‘tak lazim’ yang diucapkan seorang anak 5 tahun, menambah kesan kecerdasannya.

-Ya. Baiklah. Biar lebih jelas dan lazim namaku ini- kata kakek, sambil menggoreskan ranting di pasir dan menulis bin Tafsir setelah N-a-m-a.

-Nama bin Tafsir, itulah nama jelasku. Kalau pakai Tafsir pasti akan lebih jelas memanggil atau mengenalku. Jika kau sebut Tafsirnya kau akan lebih kenal aku.

Alina terbengong-bengong dan bilang “aku tak mengerti, Kek”.

-Ya aku tahu kau belum paham. Tapi nantilah jika semakin tambah usiamu, semakin banyaklah kejadian yang kau alami dan saksikan, kau akan bisa akrab dan paham dengan namaku dan dengan nama-nama lainnya. Buat sekarang, kau panggil aku Kakek, itu sudah bagus- kata Pak Tua.

Senja semakin kelam. Burung-burung sudah menutup kicaunya. Semak-semak dan perdu mulai menyatu dalam bayangan kelam. Pepohonan kelapa kembar mulai tak kelihatan kembarnya. Dermaga yang jauh sayup, mulai menyalakan lampunya.

-Sudah waktunya pulang- kata Pak Tua. -Kau bisa pulang sendiri?- tanyanya.

-Itu rumahku- jawab Alina menunjukkan sebuah vila mungil 200 meter dari situ, yang menjadi terang karena lelampunya sudah dihidupkan.

-Kakek rumahnya di mana?- tanya Alina. Kakek menunjuk pada gundukan tanah yang luas di ketinggian pantai, ditutupi rumput yang tebal dan rapi dan di pinggir gundukan penuh merambat bunga-bunga.

Bagi Alina rumah kakek kelihatan aneh sebagai gundukan tanah yang luas dan lapang.

-Boleh aku ikut Kakek?

-Buat apa- jawab Pak Tua.

-Ya ingin tau aja- jawab Alina.

Aku cuma ingin tahu jalannya. Sampai rumah Kakek aku langsung pulang. Nanti kan aku bisa jalan sendiri ke rumah Kakek, tentu bila Kakek mengizinkan.

Ya, nanti-nanti kau bisa sendirian ke sana, kata kakek sambil membimbing Alina menuju ke rumah.

Sampai rumah Pak Tua, Alina jadi tahu bahwa rumah kakek dalam tanah. Gundukan besar dan rapi dengan rumputan dan bunga-bunga itu adalah atapnya. Persis sebuah kuburan besar tetapi lelampu luar dan dalam rumah yang segera dinyalakan kakek, serta warna-warni bunga-bunga rerumputan sejuk dan tebal membuat Alina senang dan jauh dari ketakutan.

Di bagian depan bukit rumah Pak Tua itu, terpancang papan lebar kokoh dan besar bagaikan sebuah nisan yang besar dan jelas tercantum nama Pak Tua: Nama bin Tafsir. Kakek tersenyum melihat Alina dengan bantuan cahaya lelampu taman mencoba mengeja namanya.

Sudah waktunya kau pulang sekarang. Nanti ayah dan ibumu bisa cemas. Lantas digaetnya tangan Alina dan diantarnya bocah kecil itu separuh jalan menuju rumah orangtuanya. ***

Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=210452998983573

Tidak ada komentar:

Pasar Seni Indonesia