Bambang kempling
http://sastra-indonesia.com/
Adalah setangkai bunga rumput berkelopak ungu dalam genggam perempuan di tengah siang. Sudah tidak begitu segar dan hampir layu, seperti kisah bunga-bunga terlalu tua untuk jadi mahkota. Mengapa? Apakah hari ini telah kehilangan fantasinya juga bagi wajah yang tersembunyi dari langit terbuka di balik payung pelangi?
Jembatan kecil pada suatu jalan kecil itu sungguh telah menjadi tempat yang baik untuk membebaskan keinginan bersedih, bahkan sekali waktu bisa menggodanya untuk iseng bergembira sejenak: memilin-milin tangkai bunga rumput yang digenggamnya sejak tadi sambil bernyanyi-nyanyi lirih. Lalu memungut sempalan ranting pohon waru lantas dilemparkannya ke arah buih yang tersangkut di celah-celah batu…Plung!!, dan buih pun berlubang memanjang, berombak lembut, sebagian terberai mengikuti arus air, maka terciptalah lecut pimping dari perjalanan sunyi gericik air. Tapi masih ada satu pertanyaan yang tidak juga terjawab oleh dirinya: “Benarkah ini satu kegembiraan iseng?” Semacam perjuangan nihil untuk berusaha melegalisasikan semua jalan pelarian dengan pikiran-pikiran yang semakin menjauh. Tidak ada ketajamannya, kecuali alasan-alasan yang sempurna.
Payung pelangi diayunkannya perlahan, saat itu pula dilihatnya langit telah kehilangan warna birunya. Kelabu mendung seperti hendak membawa mala petaka. Ingin rasanya ia beranjak pergi, tetapi gerimis telah menghadirkan harapan lain bagi kangen yang terpenjara begitu hadir seorang lelaki kurus dan capek.
“Sudah lama?” sapa lelaki itu.
“Aku hampir saja pulang! Inilah keajaiban gerimis, dengan cepatnya ia menyihir niat itu menjadi fantasi sore yang indah.” jawab perempuan itu.
“Aku kangen.”
“Apa masih perlu?”
Perempuan itu menggeser duduknya. Itu adalah isyarat bagi kesepakatan tanpa kata-kata bagi lelaki itu untuk menyelinapkan wajah di balik payung.
Merdu gerimis menjadi tak berlagu di atas sepasang kepala yang semakin jelas terdengar tanpa rasa heran yang berlebihan. Dan gericik air pun kemerduannya sama sekali juga tak menimbulkan romantisme luar biasa bagi mereka. Barangkali karena mereka telah terbiasa menjalani hidup dengan kebiasaan-kebiasaan aneh.
“ Ciumlah aku…!” manja perempuan itu. Lelaki itu menyibak rambutnya yang panjang tergerai, membelainya dengan bangga, lantas mencium bibir kering terbuka.
“Peluklah aku…!”
Didekapnya perempuan itu. “Hari ini kita sama tidak merasa kehilangan, tetapi jangan terlalu berharap.” Bisik lelaki itu.
“Mengapa?”
“Tidak apa-apa.”
“Kau tidak mandi hari ini?”
“Kemarin lusa. Mari kita berlindung! Gerimis nampaknya akan deras.”
“Berlindung? Dimana?”
“Bawah jembatan.”
“Apa payung ini tidak cukup.?”
“Jelas cukup! tapi, bagaimana dengan istana kita?”
Di bawah payung, kemesraan begitu mengagumkan, muka kecut dan bahagia sepertinya sama saja, bau tanah basah tak sempat tercium oleh nafas yang diburu keinginan-keinginan dengan cepatnya. Sungguh betapa berartinya hari menjelang sore itu bagi mereka.
“Ulaaar…!!!” perempuan itu tiba-tiba menjerit.
Dari arah semak rerumputan, melata seekor ular tanggung. Perempuan itu meloncat. Karena dalam panik loncatannya justru mengenai ekornya, Ia terpeleset lalu jatuh, kepalanya hampir mengenai sebongkah batu. Payung terlempar. Dalam gerakan reflek sang lelaki menyahut lengannya, tapi sial justru hanya mengenai lubang leher rok kekasihnya hingga sobek memanjang termasuk tali kutangnya juga tersangkut dan putus satu. Dalam gerak reflek instingtif untuk survifal dalam keadaan bahaya barangkali, kepala ular itu secepat kilat menyambar dan “cap!” tepat mengenai pantat perempuan yang menginjaknya.
“Awaass!!” seru yang terlambat dari sang lelaki.
Segera dramatik peristiwa kehidupan terjadi begitu cepatnya – secepat kilat disahutnya ekor ular – disabetkan pada sebongkah batu tepi jembatan – Plak..!!,Plak..!!,Plak..!!!
“Lunglailah kau..!! Harcurlah kau..!!Bangsat..!!”
Nafas memburu dendam berlebihan, didekatinya ular itu, diperhatikannya sungguh-sungguh.
“Matilah kau.” desisnya, dan senyum kepuasan sedikit tersungging di kedua sudut bibir.
Lalu diraih lunglai tubuh ular itu, dilemparkannya jauh-jauh dari situ.
“Bukan maksudku tidak memberi hak kehidupan bagimu hai binatang! tapi kaulah yang menciptakan kesumatku!” Teriaknya sambil melirik wajah memelas kekasihnya.
“Ulaaaar!!!” tiba-tiba terdengar jeritan serentak beberapa anak perempuan dari seberang jalan. Disusul jeritan-jeritan panik serta derap sepatu yang cepat. Lelaki itu terkejut penuh tanda Tanya. “Kok … terlalu jauh ?!” Betapa kekonyolan itu akhirnya juga sedikit memberikan hiburan bagi sang kekasih di sela-sela degup jantung yang membara.
“Aduuuh…” perempuan itu mengaduh, kedua tangannya mencengkeram
luka gigitan.
“Sakit ?”
“Ya… jelas sakiiit..! Ayo cepat tolong…!Tunggu wajahku membiru apa?! Cepaaat..!!! ” bentakkan yang penuh dengan kemanjaan berbaur seringai menahan sakit dan rasa takut yang sangat.
Lelaki itu semakin panik. Kekonyolan-kekoyolan yang hadir bersamaan dengan klimaks dramatik kejadian, membangun tabir keingin-tahuan. Otak mampet. “Apakah ini ketololan?” Desisnya. Sementara jeritan-jeritan seberang jalan masih membuatnya menjadi ingin tahu tentang apa yang telah dan akan terjadi disana. Dalam kondisi seperti itu sulit baginya memberikan prioritas porsi keinginan-keinginan; antara segera menolong kekasih atau beranjak ke seberang jalan. Dalam gundah, dia berdiri mematung. “Selalu saja begini.” Desisnya. Matanya berlinang, menerawang ke atap rumah-rumah yang mencuat dari pucuk pohon-pohon.
Terdengar sayup-sayup di seberang jalan, kegaduhan berkembang menjadi umpatan-umpatan.
“Kurang ajar..! Dikira lucu apa keusilannya!! Kurang ajar..!!”
“Untung saya tidak pingsan….Hiii…!”
“Ya untung kita semua tidak pingsan!”
“Ini pasti ulah orang gila itu.”
“Orang gila yang mana!?”
“Adduuuh… Itu…tu… yang biasa….”
“Oh…Seniman itu. Kemarin dia mengirim bunga buat Rina Lho… Biasanya romantis kan dia.”
“Nyaco pikiran kamu! Itu… mereka sepasang manusia surialis penjaga taman bawah jembatan ……”
“Oh… Barangkali dengan begitu bisa membuatnya bahagia.”
“Humanis banget kamu..?! Eh!! Kamu ada yang sudah ngerjakan tugas Psykologi Sastra? Bantu aku dong..!”
Suara-suara itu semakin menjauh. Segerombol pemuda gondrong menyanyikan lagu romantis melintasi jembatan dalam gerimis yang semakin deras, mereka terlalu cuek untuk mengetahui apa yang terjadi di bawah jembatan.
“Ayo cepat !!! Jangan berpikir terlalu panjang! Aku keburu mati nanti!! sentak perempuan itu.
Lelaki itu segera sadar akan apa yang harus dilakukan segera. Ia hampiri kekasihnya, memeriksa luka bekas gigitan. “Sakit?” tanyanya.
“Tiddak!” jawab perempuan itu dengan cemberut.
“Eeehh! Kamu jangan cemberut begitu dong! Nanti aku tambah bingung. Ini tidak apa-apa.”
“Tidak apa-apa bagaimana..!?”
“Iya… tidak apa-apa… sebab ular tadi tidak berbisa.”
“Sok tahu!”
“Tidak bengkak kan..?”
“Tapi,… ini lihat! Lihat dengan sepasang matamu yang tolol! Ada sepasang luka bekas gigitan dan giginya tertinggal sebelum kau cabut. Apa bukan bukti!!”
“Bukti bahwa ular itu berbisa? Sok tahu !! Ular yang itu tadi, yang menggigitmu sayangku, kekasihku, termasuk ular yang biasa hidup di air atau yang lazim di daerahku menyebutnya sebagai ular air. Dan ular air itu tidak berbisa.:
“Tapi kok sakit.”
“Nah jelas sekarang, siapa yang tolol sebenarnya.”
“Nah!…naah!…naah!! Jangan kau mulai lagi!.”
“Maaf …maaf. Semalam nonton Film Special nggak?”
“Ngaco…!”
“Yang jadi Robin Hood itu aku lho …”
“Jangan kau goda aku dengan ketololanmu!!”
“Giginya tadi aku lempar ke mana ya? Akan aku ambil untuk leontin cinta bagi kekasihku tercinta.” godanya semakin menjadi.
“Kau sudah tahu bagaimana kalau aku marah..!?” Tiba-tiba perempuan itu memekik. Pekikan dari rasa jengkel yang meskipun tidak berlebih, tapi sudah cukup untuk menjadi ancaman berbahaya bagi lelaki itu, dan hal terbaik saat-saat demikian adalah segera menghentikan godaannya.
Darah merah tua…
Merah tua menetes dari luka kecil.
Dengan lembut lelaki itu mengusapnya tanpa sepatah kata. Sehelai sapu tangan biru dan kotor dibalutkannya, seperti bagaimana dia membalut harapan-harapan.
“Mari ke taman kita sebagaimana rencana kita tadi..!” ajak lelaki itu.
Perempuan itu mengatupkan matanya,“Payungnya..?” katanya.
“Sebentar aku ambil.”
Di bawah jembatan gericik air dan gerimis deras yang menggerimisi rimbun daun-daun bersatu di telinga dan dada. Dingin sore sangatlah berarti bagi sepasang kekasih di bawah jembatan. Kelas cinta yang murni dari manusia-manusia pinggiran. Kelas cinta yang bebas dari kebebasan burung-burung ciblek. Kemurnian cinta yang banyak dilupakan.
Bau anyir dari sungai kecil dan kotor dalam keheningannya bukanlah suatu hal yang menjijikkan. Mereka berpelukan…berpelukan mesra sekali. Kadang-kadang dilihatnya bersama luka yang terlupakan. Yaa… Tuhan, dari mana sumber kebahagiaan sebenarnya?
Dalam bahagia mereka lepas tertawa selepas-lepasnya. Lelaki itu tiba-tiba berdiri di sebongkkah batu hitam. Tangan meraih sebatang kayu penguat jembatan, menggelayutkan tubuhnya, dan dengan berekpresi selayaknya seorang pemeran dalam sebuah pertunjukan teater, dia berdeklamasi di hadapan kekasihnya, di hadapan lumut-lumut, rumput-rumput, semut-semut, dan binatang lata dari sebuah kehidupan yang sering terlupakan.
“Dan kitalah pengantin musim ini, yang mempersembahkan cinta kasihnya buat cuaca yang gundah. Tidak selalu kalah dalam pertipuan angin, tidak selalu mencaci kesewenangan nasib, tidak pernah menolak menjadi pemimpi. Wahai… pengantinku mari berdansa dalam alunan musik abadi kita!!”
Sementara itu, sang perempuan dengan mengulum kebanggaan menyibak rambutnya, menengadah ke atap surganya yakni papan-papan jembatan. Dengan khusuk mereka lantas berdansa, menyusuri air kehidupan.
Gerimis masih tetap mewarnai sore. Sebentar kemudian azan Magrib berkumandang. Mereka masih tetap bercinta.
*
Di perempatan jalan, dimana aliran air sungai membentuk pusaran, seorang tukang becak yang kebetulan sedang kencing disitu, menemukan sesuatu terapung terbawa arus air. “Kutang siapa ya ..?” tanyanya dalam hati. “Ah…masa bodoh…lumayan.” desisnya. Ia cepat-cepat mengambilnya, menyimpannya di saku kiri, lalu pergi mengayuh becaknya kembali. Ketika ada yang memanggilnya, ia tidak begitu peduli.
Langit tiba-tiba hitam, semakin hitam. Halilintar susul menyusul dengan guntur dan angin badai.Begitu cepatnya keindahan sore berubah menjadi pekat Hujan mengguyur teramat lebat. Orang-orang segera menutup pintu-pintu dan jendela. Kota menjadi sepi sampai sepanjang malam, hanya dera hujan dan genangan-genangan air mewarnai sepanjag jalan.
Dingin menusuki tulang-tulang.
Kengiluan bagi makhluk seluruh kota itu.
*
Dua hari kemudian, pagi-pagi benar seekor anjing menyalak. Tak lama seseorang yang kebetulan melintas curiga dengan tingkah anjing yang kebetulan anjing tetangganya menghampiri anjing itu. Betapa terkejutnya ia begitu dilihatnya dua sosok manusia telanjang terbujur kaku dalam pelukan.
September 2003
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar