Saiful Anam Assyaibani
http://kabarnyaindonesia.blogspot.com/
Di Jawa Timur; selain Surabaya adakah semarak seniman se-kaya Lamongan? Memang tidak dapat dipungkiri Surabaya masih sebuah pusat bagi kesenian Jawa Timur, ini karena semata-mata Surabaya adalah muara bagi seniman manapun tak terkecuali dari Lamongan. Bahkan bagi sebagian seniman terpaksa mengakui bahwa Surabaya adalah fenomena lain bagi dunia seni, sastra dan budaya selain Jakarta, Bali, Bandung dan Jogjakarta dimana mata dunia telah tertuju kesana.
Bukanlah sebuah harapan kosong saya kira untuk menyejajarkan Lamongan dengan setidaknya Surabaya di bidang urat nadi kebudayaan itu; jika saja Lamongan mau berdandan sedikit saja dengan menyediakan wilayah atau pusat kesenian di tengah-tengah kota, sebut saja "gedung seni dan budaya" yang telah lama dirindukan para pelaku seni di Lamongan, alangkah damai saya membayangkannya. Bukankah "ajine bongso songko budoyo". Dalam keyakinan saya Lamongan akan menjadi kota yang akan diperhitungkan di pentas nasional manakala di tengah-tengah kota telah tertanam "gedung seni dan budaya" bukan hanya sekedar Dewan Kesenian.
Jika menilik dari sisi seni rupa di Lamongan, sungguh kita akan membaca keemanan yang luar biasa, betapa tidak; Lamongan melahirkan Agus Sudintiono, Arifin Katiq, Maruwa Naya, Haris, Bambang Bolet, Jumartono dan sejumlah nama lain yang kerap mundar mandir melakukan pameran hampir di seluruh belahan negeri, Jumartono adalah representasi kecil dari sekian banyak perupa Lamongan yang luar biasa itu. Dari sisi sastra, Lamongan punya Viddy AD Daery, Herry Lamongan, Mashuri, Nurel Javissyarqi, Haris Del Hakim, AS. Sumbawi, Bambang Kempling, Pringgo Hr. Sutardi, Imam Saiful Aziz, Rokhim dan sejumlah lain yang luar biasa banyak untuk diejakan. Bahkan karya mereka telah bicara di wilayah mancanegara. Belum lagi Ninin sang penari dan Rodli yang teaterawan itu; sejarah internasional telah mencatatnya sebagai bagian sejarah yang membanggakan, mereka jawara dalam festival internasional dalam karya mereka masing-masing. Belum lagi kita mencatat betapa kaya Lamongan dengan budaya-budaya tradisional, sebut saja batik prengan, batik sendang, kuntulan, wayang songsong, kentrung, sandur, karawitan, jaran jenggo dan jidor yang kental sekali dengan budaya khas Lamongan yang sampai saat ini masih bergeliat dengan gairahnya.
Beberapa fakta mencengangkan sebagai tolok ukur kreatifitas dan produktifitas bagi para seniman di Lamongan adalah bahwa para Seniman itu dengan diam-diam telah mendokumentasikan karya mereka baik dalam katalog maupun antologi, baik tunggal maupun bersama. Dan tak jarang juga mereka mengajak para penulis nasional untuk melebur bersama-sama dalam karya. Berikut beberapa karya yang pernah terbit di Lamongan; Bercermin Memecah Badai (1999), Negeri Pantai (2000), Rebana Kesunyian (2002), Imajinasi Nama (2003), Bulan Merayap (2004), Lanskap Telunjuk (2004), Pada Suatu Alamat (La Rose 2004), Mozaik Pinggir Jalan (2005), Absurditas Rindu (La Rose 2006), Khianat Waktu (2006), Memori Biru (2007), Jalan Cahaya (2007), Gemuruh Ruh (2008). Mawar Putih (La Rose 2007), Kristal Bercahaya dari Surga ( La Rose 2008), The Power of Love (La Rose 2008), Kamashastra (La Rose 2009). Laki-laki Tak Bernama (2008), Pameran Makam (2008), Kidung Samenanjung (2009).
Secara individual, para seniman Lamongan juga membukukan karya-karyanya baik dalam skala nasional maupun regional. Diantaranya adalah Herry Lamongan; Lambaian Muara (1988), Latar Ngarep (2006), Surat Hening (2008), Nurel Javissyarqi; Balada Takdir Terlalu Dini (2002), Kitab Para Malaikat (2008), Mashuri; Jawadwipa 3003 (2003), Pengantin Lumpur (2005), Ngaceng (2007), Hubbu (2007), Gaidurrahman El Mitsri; Kitab Dusta dari Surga (2008), Langit Mekah Berkabut Jingga (2008), Bait-Bait Cinta (2008), Pringgo HR; Sungai Asal (2005), Bambang Kempling; Kata Sebuah Sajak (2002), Alang Khoiruddin; Lorong Cinta (2000), Seruling Cinta (2002), Haris Del Hakim; Kau Nodai Cintaku (2000), Wejangan Cinta (2004) Javed Paul Syatha; Syahadat Sukma (La Rose 2004), Tamasya Langit (La Rose 2007), The Lamongan Soul (La Rose 2008), Kitab Lazarus (La Rose 2009). Angin Yang Menulis Pintu (La Rose 2010), A. Sauqi Sumbawi; Interlude di Remang Malam (2006), Tanpa Syahwat (2006), #2 (2007), Dunia Kecil, Panggung dan Omong Kosong (2007), Waktu di Pesisir Utara (2008), Maskerade (2008), Rodli TL; Dozedlove (2006), Imamuddin SA; Esensi Bayang-Bayang, Sembah Rindu Sang Kekasih, Kidung Sang Pecinta, Sasmita Kembang Widerda, dan sekian buku yang berserak dan luput dari pengamatan penulis.
Belum lagi komunitas-komunitas dan kantung-kantung sastra pelajar yang luar biasa membludak di Lamongan, saya mencatat tak kurang dari 40 komunitas seni dan sastra yang pernah ada dan konsisten mengembangkan ranah tersebut. Diantaranya adalah: Laboratorium Seni LA Rose (MA. Matholi'ul Anwar Simo), Teater Sketsa (SMA Sunan Drajat), Teater Taman (MAN Babat), Teater Rekat (SMUN Mantup), Teater Nawa (SMK NU) Teater Citra (SMADA), Teater Intan (SMA 3), Mata Es (Ta'miriyah), UKM Teater Roda (Unisda), STNK (Unisda), Kentrung Formalin (Unisla dan SMA 3), Teater Mata (Kranji Paciran), Teater Kentut (Payaman Solokuro), Sangbala (SD Canditunggal Kalitengah), Teater Teken (Unisla Sunan Drajat), Teater Bondan (SMAM), Komunitas Al-Masyrik (SMU NU1 Model), Teater Kretas (SMK NU1), Teater Air (SMABA), Teater Rasa (Unisla), Teater Van Der Wijck Syuro (Payaman), juga Lembaga Kebudayaan Lamongan (LKL), Forum Sastra Lamongan (FSL), SastraNesia, dan Komunitas Sastra & Teater Lamongan (KOSTELA), yang beberpa waktu lalu baru saja menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jawa Timur karena konsistensinya dibidang tersebut tak kurang dari 10 tahun. Sungguh sebuah realitas yang patut dipuji.
Alangkah menyenangkan jika saja kelak Lamongan tidak hanya dikenal sebagai Kota Soto, Kota Tahu Campur, Kota Sego Boranan atau Wingko Babat yang konotasinya hanya seputar makanan saja, melainkan kota yang lebih beradap dengan mengemukakan nilai-nilai kebudayaan yang adi luhung, sebuah warisan leluhur yang seharusnya kita lestarikan. Sehingga Lamongan bisa berbangga diri dengan berani meneriakkan "LAMONGAN KOTA BUDAYA" seakan mengamini cita-cita Nietzsche seperti yang terkutip dalam Also Sprach Zarathustra tentang datangnya zaman dengan manusia baru dan kebangkitan para seniman agung "Aku menyambut segala isyarat datangnya zaman yang lebih jantan, mirip peperangan, yang di atas semua, akan membawa kembali penghargaan akan kehormatan!" atau serupa imaji Franz Kafka, "Kebudayaan akan bermetamorfosis menjadi bayang-bayang di dunia manusia. Optimisme adalah dirinya. Sejarah pun telah mencatatnya. Ia justru akan semakin kokoh dalam batas-batas yang mengabur". Dan serupa sabda zarathustra, yang muncul seperti matahari pagi itu, nilai-nilai kebudayaan seakan berseru, "inilah pagi-ku, hari-ku dimulai. Bangun sekarang, bangun tengah hari yang agung" ohoi, alangkah indahnya mimpi ini!. Semoga saja dengan adanya Wisata Bahari Lamongan (WBL), Zoo & Goa Maharani, Lamongan Plaza, dan PERSELA yang menghibur itu, tidak menggerus nilai-nilai kebudayaan di Lamongan.
Jika saja keberhasilan kepemimpinan Pak Masfuk selaku Bupati Lamongan dua jilid itu dibarengi dengan keberhasilan membangun infrastruktur kesenian dan kebudayaan, maka lengkaplah sudah sejarah Lamongan mencatat dengan tinta emas betapa agung dan bijaksananya pemimpin Lamongan itu. Maka pertanyaannya sekarang adalah, adakah Pemimpin Lamongan setelah Pak Masfuk akan menengok ke dalam wilayah asing yang bernama seni dan budaya di Lamongan, jika ada maka saya atas nama pribadi dan para pelaku seni dan budaya di Lamongan akan sangat merindukannya. Semoga…
Diambil dari: http://kabarnyaindonesia.blogspot.com/2010/03/ac-i-telaah-lamongan.html
1 komentar:
seniman Lamongan maju terus... n berjuang... mantap dah.......semoga semua yg di cita-citakan terwujud... Amiin
Posting Komentar