Minggu, 25 September 2011

Lamongan: Gerakan Sastra dan Buku “Indie”?

Abdul Azis Sukarno
http://sastra-perlawanan.blogspot.com/

Ada yang menarik ketika dengan tidak sengaja saya berkunjung ke kota kecil di sebelah utara Surabaya akhir Maret 2007 lalu, di mana sosok Amrozi si pelaku salah satu kasus bom Bali berasal. Tapi, tentu bukan dalam masalah di mana kota tersebut akhir-akhir ini akrab dengan kata-kata ‘teroris’, ‘bom’, atau semacamnya, dan diam-diam menjadi bahan perhatian pihak keamanan baik dalam maupun luar negeri. Melainkan, peranannya dalam bidang kesusastraan Indonesia, khususnya di Jawa Timur.
Lamongan, demikian nama kota tersebut, tiba-tiba menggelitik ‘adrenalin’ saya (istilah ini senang sekali digunakan kawan saya Fahrudin Nasrulloh dalam tulisan-tulisannya yang konon biar terkesan gagah, he-he…), untuk minta ditulis perihal anak-anak mudanya yang bersastra dengan gerakan “aneh” dan semangat yang lumayan tidak kalah dengan kawan-kawan seperjuangannya di kota-kota lain seperti Malang dan Surabaya, barangkali.

Ya, gerakan “aneh”, jika kita mengamati perkembangan sastra kontemporer Indonesia. Di mana, ketika era sastra buku dan sastra majalah beralih ke sastra koran dan kini malah sebagian melirik sastra “cyber”, para kreator muda Lamongan malah bergerak sebaliknya. Seperti satu pasukan barisan yang mendapat aba-aba, “balik kanan jalan terus”. Itu pun masih ditambah tidak lewat jalur resmi pada umumnya. Tentu saja tepat sekali jika saya menyebutnya gerakan sastra dan buku “indie”.

Yang lebih detailnya adalah, karena di samping mengarang atau berposisi sebagai penulisnya, mereka juga berusaha untuk menerbitkan sendiri, bahkan ada juga yang sampai pada fase mendistribusikan sendiri. Sehingga, otomatis tak ada seleksi penilaian di sini seperti kalau kita menyerahkan naskah ke penerbit-penerbit resmi, yang masing-masing pastinya dalam memilih naskah, punya selera dan cara meyeleksi yang berbeda. Bahkan, soal kualitas atau tidak bagi mereka adalah nomor sepuluh alias yang penting terbit dahulu. Masalah penilaian terserah pembaca.

Soal penggarapan format bukunya juga beragam, dari mulai yang masih stensilan kuno (fotokopi, streples, selesai) hingga yang “lux” seperti buku pada umumnya yang kini dijajakan di toko-toko buku juga ada. Sebut saja untuk contoh terakhir seperti dua karya Nurel Javissyarqi yang berjudul Takdir Terlalu Dini (edisi revisi) dan Trilogi Kesadaran-nya, serta Rodli TL lewat novel Dazelove-nya. Dengan jumlah untuk cetakan pertamanya yang hanya berkisar antara 500-1000 eksemplar, tidak lebih.
Begitupun dalam menyikapi media massa atau lomba-lomba penulisan sastra, hampir 95 persen karya-karya mereka (puisi, cerpen dan esei) belum teruji di sana.

Sebuah pemberontakan yang sungguh berani!
Tentu saja, karena gerakan yang dilakukan adalah melawan arus besar.
Pertanyaan kemudian, faktor-faktor apakah yang membuat hal tersebut dapat terjadi? Dari beberapa pengamatan dan obrolan saya dengan mereka, memang banyak hal yang bisa dijadikan alasan:

pertama, masalah kesulitan mengakses media massa dan jaringan internet. Di sana hanya ada 3 koran (Jawa Pos, Kompas, dan Surya) yang bisa dijangkau. Itu pun 2 di antaranya harus mendapatkannya di kota. Sementara jarak yang mesti ditempuh dari teman-teman saya ke kota lumayan jauh. Bahkan, dari teman tempat menginap saya saja (±10 km atau lebih, barangkali). Begitupun warnet yang menurut A. Syauqi Sumbawi jumlahnya tidak lebih dari 4 buah (di mana dua atau tiga atau bahkan semuanya tidak mempunyai jam kerja 24 jam). Padahal untuk mendekati koran saat ini, akses kedua media tersebut jelas harus dekat.

Kedua, ketidaksabaran untuk segera memiliki karya yang dibukukan. Pernyataan ini awalnya saya kutip dari jawaban saudara Rodli TL ketika saya tanya, mengapa tidak berproses kreatif di koran dahulu sebagaimana teman-teman kreator pada umumnya, yang kemudian ia jawab dengan kalimat begini, “Saya sudah mencobanya, Mas, ngirim naskah ke beberapa koran tapi karena enggak dimuat, ya langsung saja saya bikin naskah yang bisa segera diterbitkan sendiri.”

Ketiga, pengaruh dari teman-teman yang telah mengawali sebelumnya. Dalam hal ini, tentu saja, nama Nurel Javissyarqi tidak bisa dilewatkan. Bahkan, saya kira di Lamongan yang melakukan hal tersebut cuma dia sendiri—maklum waktu di Yogya ia sempat me-lounching salah satu buku “indie”-nya tersebut yang berjudul Kajian Budaya Semi (2005) bahkan tahun-tahun sebelumnya sempat juga menyosialisasikan karya perdana-nya, Takdir Terlalu Dini (2001)—, eh tak tahunya merembet juga ke teman-teman lainnya. Terutama Alang Khoeruddin, lewat penerbit Ilalangnya yang tak kalah produktif, telah banyak pula karyanya yang diterbitkan, ditambah beberapa antologi puisi bersamanya. Menyusul kemudian AS Sumbawi, Rodli TL, Javid Paul Syatha, Imamuddin SA, Imam Qodim Al-Haromain, dan lain-lainnya. Belum lagi mereka yang hanya ikut antologi bareng.

Keempat atau terakhir adalah idealisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Di mana tentu saja tanpa point ini, tak akan berlahiranlah karya-karya mereka tersebut.

Dari fenomena di atas, wajah Lamongan memang terkesan menjadi lain sekarang, dibanding daerah-daerah tetangganya semacam Gresik, Tuban, atau Bojonegoro. Kehidupan apresian sastra anak mudanya terus menggeliat di antara banyak keterbatasan-keterbatasan. Meski gerakan mereka jelas tidak sama dengan gerakan ala RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman) yang dulu salah satunya dimotori Kusprihyanto Namma dari Ngawi, dan sempat menggegerkan publik sastra kita awal tahun 1990-an, melalui polemiknya di beberapa surat kabar terbitan pusat dan daerah dan diskusi-diskusinya di beberapa wilayah.

Namun lewat ‘pemberontakan’ seperti penerbitan buku, tidak mustahil—karena sifatnya lebih konkrit—bisa jadi hal itu akan lebih ‘berbekas’. Asal ‘api’-nya (meminjam bahasa almarhum pelukis Nashar untuk menyatakan semangat) tidak cepat padam. Toh, mereka perlu waktu kalau benar-benar ingin membuktikannya.

Selain itu, mungkin yang perlu menjadi catatan adalah bahwa gerakan mereka tidak ada sangkut pautnya secara politis dalam konteks dunia kesusastraan sebagaimana gerakan yang saya sebutkan tadi. Di mana mereka tumbuh begitu saja tanpa adanya perlawanan terhadap sebuah hegemoni. Hal ini bisa dilihat langsung dari cara bergerak mereka yang sepertinya berjalan “serempak” padahal kenyataannya tidak alias “berkumpul tapi tidak berkumpul”.

Sayang, di sini saya tidak bisa menjelaskan jumlah secara rinci karya-karya sastra mereka yang telah diterbitkan tersebut, di samping karena ada beberapa penulis yang malu menyebutnya, singkatnya waktu pengamatan saya saat berkunjung ke sana. Tapi, untuk nama-nama penerbitnya selain PUstaka puJAngga (PuJa) dan Pustaka Ilalang, ada juga SastaNesia dan beberapa lainnya.

PUstaka puJAngga sendiri telah memproduksi sepuluh lebih judul sastra karya direkturnya Nurel Javissyarqi. Belum lagi Pustaka Ilalang mengikutinya, disusul SastaNesia & LaRoss. Lamongan dengan kegiatan sastranya semacam itu akhir -nya layak dijadikan contoh bahwa daerah-daerah lain bisa juga mengikuti jejaknya. Terutama bagi daerah-daerah yang merasa kesepian dalam soal akses media massa, internet, atau hiruk pikuk dunia penerbitan ala Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung.

“Tak ada rotan akar pun jadi.” Mungkin pepatah ini cukup tepat untuk mengatakannya. Ya, di tengah keterbatasan-keterbatasan dalam hal media sosialisasi berkarya mereka sanggup menunjukkan identitasnya lewat penerbitan buku “indie” tersebut.

Sebagai catatan pamungkas, semoga setelah fase ini masih ada fase lain: produktivitas dan kualitas secara materi bisa terus ditingkatkan lagi agar kegiatan sastra mereka tidak bisa dilirik sebelah mata oleh publik sastra Indonesia. Agar arwah almarhum Satriagraha Hoerip bisa tersenyum puas dengan kota kelahiran tercintanya. Agar teman-teman sastra yang namanya telah mencuat ke permukaan nasional dan konon ada yang malu menyebutkan kota asalnya jadi kembali insaf. Agar Abdul Wachid BS yang kini aktivitas sastranya lebih dikenal di Purwokerto bisa sering-sering mudik ke kampung halamannya (he-he…). Agar Heri Lamongan tergerak untuk menerbitkan antologi tunggalnya (he-he, lagi). Agar gemanya tidak kalah dengan kasus Amrozi. Trims. Salam sastra.

Yogyakarta, April 2007
Abdul Azis Sukarno, Penyair, tinggal di Yogyakarta.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2010/03/lamongan-gerakan-sastra-dan-buku-%E2%80%9Cindie%E2%80%9D/

Tidak ada komentar:

Pasar Seni Indonesia