Umar Junus
ART AND ACTIVISM: Some examples from contemporary Central Java
Oleh: Rosslyn von der Borsh
Penerbit: Flinders University Asian Studies Monograph, no. 4, 1988, 98 halaman
http://majalah.tempointeraktif.com/
INI mulanya latihan ilmiah di Universitas Flinders dan kemudian diterbitkan sebagai monograf. Ia membicarakan kegiatan “seniman” muda Yogya dan Solo yang berupa sastra lisan, yang ada hubungan dengan mengamen. Sesudah pendahuluan yang pendek, dibicarakan puisi Wiji Thukul Wijaya, Omi Intan Naomi, Kelomook Penyanyi Jalanan Malioboro, dan kegiatan Teater Dinasti dan Gapit. Ini diikuti oleh kesimpulan, terjemahan beberapa karya ke dalam bahasa Inggris, beberapa puisi, dan bibliografi. Von der Borch menerjemahkan “gugat” dengan challenge.
Menurut Von der Borch, kegiatan itu menggugat kehidupan Indonesia. Mereka gugat sastra Indonesia dengan menentang perkembangan yang berpusat di Jakarta. Mereka tak merasa perlu mendapat pengukuhan Jakarta. Mereka gugat fenomena sosio-politik-ekonomi Indonesia yang mengorbankan rakyat kecil. Mereka protes keleluasaan ketakadilan yang menyengsarakan rakyat kecil. Orang akan setuju dengan Von der Borch kalau perimbangannya didasarkan kepada lapis luar saja.
Kegiatan mereka akan dilihat sebagai tantangan terhadap perkembangan sastra Indonesia sebagai yang biasa dipahami kini. Tapi kita tak boleh melupakan perbedaan hakikat antara kegiatan itu dan sastra Indonesia. Kegiatan itu bersifat lisan, folklor, hanya mungkin dikatakan sastra lisan. Lain halnya dengan sastra Indonesia yang tulisan. Kegiatan itu hanya mungkin menggugat sastra Indonesia bila ia memasuki dunia kehidupan sastra Indonesia, dunia tulisan, yang dengan sendirinya menolak hakikat kewujudannya. Ia sekaligus tunduk kepada hambatan dan kebebasan yang menguasai sastra Indonesia. Namun, memang tak ditolak kemungkinan pengaruh kegiatan itu terhadap kegiatan kreatif sastra Indonesia.
Saya rasa, Von der Borch terlampau membesarkan hakikat penentangan ini. Seniman itu sendiri mungkin tak berpendapat demiklan. Penentangan mereka setengah hati. Mereka merasa mendapat kehormatan bila diundang melakukan kegiatan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Kegiatan itu juga menyinggung kondisi sosio-politik-ekonomi Indonesia, menyuarakan penderitaan rakyat kecil. Wijaya, mungkin karena latar belakangnya, anak tukang becak, berbicara sebagai orang yang terlibat, ikut mendenta. Lain halnya dengan Naomi, anak penyair Darmanto Jt., lebih menyuarakan simpatinya. Mereka melihat rakyat dikorbankan untuk kepentingan lain. Pelacur dikorbankan untuk kepentingan moral. Pedagang kaki lima dikorbankan untuk kepentingan ketertiban. Tukang becak jadi korban penggunaan bis kota. Dan berbagai pengorbanan lain untuk kepentingan lain.
Ini memang mudah diucapkan, dan akan cepat menyentuh simpati orang. Dan ini sesuai dengan hakikat sastra yang biasa dianggap manusiawi, melihat sesuatu dari segi manusia sebagai manusia an sich, bebas dari kegiatan lain, terutama yang berhubungan dengan kebendaan. Orang cenderung melupakan hakikat lain. Mereka beranggapan penderitaan tadi dapat diselesaikan dengan meniadakan hal yang merugikan para pelacur, pedagang kaki lima, dan tukang becak.
Penderitaan tukang becak akan hilang dengan penghentian perkhidmatan bis kota. Dan persetan dengan akibatnya. Persetan dengan jalan yang semakin ramai dan macet. Persetan dengan nasib orang miskin lain yang mesti membayar lebih mahal. Ternyata, Von der Borch tak kritis. Ia hanya mengiakan. Malah ada kesan membonceng ucapan itu. Ini memungkinkannya mengucapkan ketakpuasannya terhadap penguasa kini, juga penguasa budaya.
Ia bertolak dari dua pemikiran, sastra kontekstual dan resistance literature, “sastra penentangan”. Menurut dia, kegiatan itu mesti dilihat secara kontekstual. Ia dimungkinkan oleh kondisi Indonesia. Atau dibalik. Kondisi Indonesia (hanya) “memberikan hak hidup” kepada sastra semacam ini. Tak ada hak hidup untuk sastra yang bersuara lain. Dan ini membawa kita mempertanyakan hak hidup apa yang selama ini dianggap sastra Indonesia.
Bahwa Von der Borch tak kritis, terlihat juga dalam usahanya menemukan hakikat sastra penentangan pada kegiatan itu. Kegiatan itu tak mungkin dinamakan sastra penentangan sesuai dengan pengertian Harlow, karena tak punya arah. Ia tak mungkin dibandingkan dengan kegiatan yang ada di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Filipina, yang ada dalam bentuk catatan penjara dan puisi.
Kegiatan sastra penentangan, menurut Harlow, adalah kegiatan tulisan dan bukan lisan seperti pada kegiatan tadi. Ia dilakukan oleh orang yang punya kesadaran politik (yang matang) yang menyebabkan mereka dipenjarakan. Ia hasil suatu pemikiran. Ia bukan dilakukan oleh anak muda yang lebih banyak didorong oleh ledakan emosi yang spontan yang keluar sebagai reaksi spontan.
Dengan alasan itu, sia-sia bila kita mencoba menghubungkannya dengan pengertian sastra penentangan yang dikembangkan Harlow. Saya rasa, Von der Borch dalam pembicaraan ini dipenjara oleh apa yang ingin dicarinya pada kegiatan itu. Akibatnya, ia tak kritis. Ia begitu saja melupakan banyak hal karena tak sesuai dengan apa yang ingin dicarinya. Tapi, terlepas dari kritik tadi, penerbitan ini patut dihargai. Melalui dia, kita tahu suara yang selama ini membisu karena tak dilaporkan.
______________22 Juli 1989
Dijumput dari: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/07/22/BK/mbm.19890722.BK23189.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar