Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Jawa Timur yang luasnya sekitar157.922 kilo meter persegi, dengan jumlah penduduk 36.294.280 merupakan wilayah fenomenik. Berbagai kajian keilmuan tak pernah sepi mengangkat Jawa Timur sebagai topik utama.
Dari sudut sastra, para esais sastra sedang gencar mengupas perihal tarik-ulur eksistensi kesusastraan yang pada akhirnya menguatkan titik fokus jati diri Jawa Timur sebagai wilayah kesusastraan tersendiri di Indonesia, wilayah yang tak lagi menjadikan Jakarta dan Melayu sebagai pusat imperium kesusasteraan.
Dari sudut politik, kita dapat amati setiap menjelang berlangsungnya pemilu. Partai politik, bahkan calon kandidat presiden sekali pun, memprioritaskan agenda utama dalam rangka menggaet suara dari Jawa Timur. Dengan jumlah penduduk yang padat dalam wilayah yang tanggung dibanding Kalimantan, Sulawesi, Sumatera serta Irian, diasumsikan kalau menang pemilu di Jawa Timur, kemungkinan besar menang pemilu di Indonesia.
Secara antropologi, kekondangan Jawa Timur dikenal dunia sejak pernah bercokolnya kerajaan besar Majapahit, kerajaan yang luasnya mencapai duapertiga belahan bumi hingga ke semenanjung Madagaskar dan beberapa bagian negara Filipina.
Potensialitas intelektual juga tumbuh merebak. Banyak tokoh kaliber nasional menduduki posisi penting di pemerintahan pusat. Dari lima kali pergantian presiden di Indonesia, tiga diantaranya dari Jawa Timur: Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sejarawan Barat abad terkini mulai menggeser teorinya tentang perdaban tertinggi di dunia. Bukan lagi Mesopotamia-Byzantium. Karena pada wilayah ini tidak ditemukan indikator pendukung terjadinya kebudayaan tertinggi: yaitu banyaknya gunung berapi dan aliran sungai sebagai kemakmuran agrarian. Gunung berapi pangkal kesuburan vulkanik, serta sungai sebagai sarana penunjang irigasi. Sementara wilayah kecil Jawa Timur dihuni gunung berapi terbanyak di dunia. Sedari Kelud hingga Semeru, tercatat sekitar 10 gunung berapi. Tak ada yang menyamai wilayah ini.
Dari sinilah optimisme degub kebangkitan jaman berpusat di Jawa Timur. Apalagi bagi penduduk muslim, sebagai indikator ke dua setelah jumlah gunung berapi dan sungai, ialah keyakinan ajaran islam.
Sholat, bagi muslim merupakan referentasi kehidupan total yang menyangkut perilaku moral individu dan sosial. Sudah pasti, terangkum pula ilmu pengetahuan di dalamnya. Bagi muslim, runtutan gerak rukun sholat berpusat ketika tahiyat akhir. Sebuah posisi yang menjadi ujung sahnya sholat. Do’a tahiyat akhir pun merupakan dialektika langsung antara Nabi Muhammad dengan Alloh saat mi’roj ke Sidratul Muntaha, sebuah pertemuan dengan kapasitas peradaban tertinggi. Posisi tahiyat akhir dapat ditarik temu ruasnya dengan peta propinsi Jawa Timur.
Posisi tahiyat akhir, jika dilihat dari atas (langit) persis peta Jawa Timur. Yakni kaki kiri: tumit, telapak hingga ujung jari menjadi semenanjung Banyuwangi: Blambangan, pesisir Ketapang, Sritanjung, pesisir Bondowoso, Situbondo hingga lengkungan pantai Kenjeran. Sementara telapak kaki kanan menjorok ke timur menjadi pulau Madura. Sedang lutut kanan menjadi tapal batas Bojonegoro. Dan lutut kaki kiri juga menjorok ke pojok barat menjadi perbatasan Pacitan. Pendeknya, sepulang mi’roj dari Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad membawa peta Jawa Timur: peta kebangkitan jaman yang sudah ditentukan theokrasi.
Indikator berikutnya, Syeh Subakir jauh dari Ubyekistan datang mbabat alas di pulau Jawa ini, yang kemudian meninggalkan jejak para wali dalam missi membangun peradaban masyarakat Jawa. Dari 9 wali, 5 diantaranya di Jawa Timur pesisir utara. Sebagian ahli kebatinan berasumsi bahwa keberadaan 5 wali yang menduduki pesisir utara, berfungsi sebagai pengimbang pulau Jawa Timur agar tidak miring ke selatan, sebab bagian selatan pulau Jawa banyak dihuni gunung berapi. Terbukti pulau Jawa miring ke utara yang ditandai dengan aliran air yang pasti ke utara. Kecuali satu sungai di Tulungagung mengalir ke selatan. Sungai yang dibangun Belanda sabagai alternatirf pengesatan wilayah tersebut.
Barulah berdiri kerajaan islam Demak yang diamping Sunan Kalijaga. Dengan sistim perdikannya, Sunan Kalijaga membagi kekuasaan kepada 147 anak Brawijaya V dari Mataram hingga seluruh wilayah nusantara. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga juga sebelumnya menguasai pusat persenjataan Majapahit yang dipegang oleh Empu Supo, tokoh persenjataan yang tak tertandingi waktu itu. Padatan gelombang waktu ini simbol penjinakan kekuasaan militer sebelum menjadi negara federal atau yang dikenal dengan otonomi daerah.
Kebangkitan Jawa Timur masa kolonial ditandai pekik takbir Bung Tomo untuk membakar semangat jihat Arek Suroboyo yang didukung para santri seJawa Timur. Terdepaklah agresi militer II yang dikenal dengan pertempuran 10 November.
Ada satu pertanyaan untuk menyongsong jati diri Jawa Timur sebagai peta kebangkitan jaman mendatang. Yakni sejauhmana kesiapan pelaku sejarah di Jawa Timur mengetahui jati dirinya bahwa mereka berpotensi besar? Naif jika Jawa Timur tidak mempersiapkan kebesarannya sedini mungkin. Selayaknyalah Jawa Timur mulai menentukan skala kebesaran dalam berkiprah. Sekaliber regional, nasional, atau mendunia?
_______________
*) Penulis Sabrank Suparno. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Team pengelola media web: www.Sastra-Indonesia.com. Forum Sastra Jombang.blogspot. Alumnus MAN Filial Tambakberas di Balongrejo dan Pondok Pesantren Kwadungan Sumobito tahun 1997. Jebol 2 semester Universitas Sunan Giri (Unsuri) jurusan sospol HI dan Universitas Taruna (Unita) jurusan pendidikan. Lalu bekerja sebagai pedangan Art Shop di Bali hingga tahun 2003. Pernah kursus bahasa Inggris di BESC (Basic Ingglis Study Club) Kediri. Pernah menjadi Team Riset litbang Kajian Keislaman di STAIN Kediri. Pernah berkerja nyambi membina Yayasan Anak Yatim Tunas Harapan di Sumenep tahun 2006. Perumus jaringan pemuda tiga negara: Indonesia, Portugal, Timor Laste, sehingga pada 12 Juli 2009 menggelar acara: Diskusi Ilmiah Budaya yang dihadiri Carlos Miquel Fonseca Horta (seniman asal Portugal) di tempat penulis bersama remaja desa. Pernah menjalani sebagai pedagang kaligrafi keliling seputar Tugu Pahlawan-halaman Balai Kota Madya-Kebun Binatang- Masjid Agung Surabaya. Memenangi lomba penulisan esai sastra Islami Jamaah Maiyah yang diselenggarakan oleh Emha Ainun Nadjib dkk. Aktif sebagai penulis warta di Pengajian Padhang mBulan di Jombang dan Komunitas Bang Bang Wetan di Balai Pemuda Surabaya (tiap bulan) hingga sekarang. Team motifator penulis Jombang hingga sekarang. Pemangku Devisi Kepenulisan di Komunitas Seni Tirto Agung Mojoagung-Jombang. Ajeg bertani dan menghadiri undangan pembinaan jurnajistik hingga sekarang. Esai dan cerpen pernah dimuat beberapa media Rasar Mojokerto-Jombang (esai), Radar Surabaya (esai), Bulletin Maiyah Jawa Timur (esai), Majalah Santri Tebuireng (esai), Buku Antologi Hujan Sunyi Banaspati (cerpen). Beralamat di Dowong RT/RW: 08/02, desa Plosokerep, kecamatan Sumobito, kabupaten Jombang. Email: sabrank_bre@yahoo.com.HP: 085-735-970-909.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar