Indra Tranggono
Kompas, 15 Jan 2011
IYEM, Turah, Karti, Bejo, Darman, Lasimin, atau siapa saja nama yang umumnya dimiliki pekerja rumah tangga itu selalu dikenang dengan penuh rasa kehilangan justru ketika mereka tidak ada. Misalnya ketika mereka mudik Lebaran.
Para Tuan dan Puan—keluarga menengah dan atas yang mempekerjakan mereka—pun akan pontang-panting mengatasi persoalan domestik: dari mencuci, menyapu, belanja, memasak, hingga soal tetek bengek lainnya. Ketika disergap pelbagai pekerjaan rumah tangga itu, para Tuan dan Puan bisa merasakan betapa beratnya beban yang menindih pekerja rumah tangga (PRT) selama ini. Apa yang dialami PRT ternyata sesungguhnya adalah transfer penderitaan dari seorang juragan.
Para Tuan dan Puan pun dapat merasakan betapa tingginya komitmen, integritas, dan kapabilitas para PRT itu. Betapa mulianya mereka. Mereka selalu menjawab ”sendiko dhawuh”, ”inggih” atau ”iya” ketika sejumlah pekerjaan disodorkan. Namun, itu pun belum cukup. Tak jarang para Tuan dan Puan memberikan ”bonus” umpatan dan pukulan terkait pelayanan yang kurang memuaskan.
Dalam rajaman berbagai bentuk kekerasan itu, para PRT tetap bertahan dengan ketangguhan fisik dan jiwa yang luar biasa. Penderitaan justru menciptakan kesabaran. Kesabaran pun mengkristal menjadi kesunyian yang perkasa dan panjang.
Relasi humanistik
Nasib PRT tidak seberuntung para pembantu dalam karya fiksi para sastrawan dan sineas. Sebut saja tokoh Pariyem (Pengakuan Pariyem prosa lirik Linus Suryadi AG), Inem (film Inem Pelayan Seksi karya sutradara Nya Abbas Acub), dan Mister Rigen (kumpulan kolom Mangan Ora Mangan Kumpul, Umar Kayam).
Pariyem diangkat menjadi bagian penting dari keluarga kelas menengah (priayi) Jawa. Ia pun diakui sebagai ”menantu gelap” oleh sang majikan setelah ia mengandung bayi dari hubungan gelap dengan Ario Admojo, anak sang majikan. Tokoh Inem bernasib serupa: kawin dengan laki-laki kaya, seorang pengusaha yang terpesona pada kecantikan dan keseksian tubuh Inem.
Sementara Mister Rigen beruntung memiliki majikan bernama Pak Ageng, seorang dosen senior bergelar profesor dan doktor. Pak Ageng adalah sosok priayi agung yang ideal: baik hati dan loma (pemurah), tidak hanya dalam soal materi, tetapi juga ilmu. Selain itu, Pak Ageng juga selalu ngajeni uwong (menghargai manusia). Ia selalu membangun relasi dengan wulu cumbu (orang yang dicintai)-nya penuh cinta kasih. Bagi sosok ini, tak ada konsep liyan (the other) dalam memandang Mister Rigen, melainkan kekerabatan atau kekeluargaan.
Babu dan ”batur”
Sebelum predikat PRT, sebelumnya telah ada sebutan babu, bedinde, dan batur dengan pengertian serupa. Istilah PRT sejatinya bukan merupakan eufemisme atas istilah-istilah lama itu, melainkan predikat yang menyejajarkan pekerjaan PRT dengan jenis-jenis profesi lain.
Menjadi PRT pun mesti memenuhi tiga syarat pokok profesionalitas: komitmen, integritas, dan kapabilitas. Hasil kerja PRT pun terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
Predikat babu dan batur punya sejarah yang berbeda. Dua istilah itu lahir dari posisi yang dependen. Dalam kultur Jawa, hal itu terkait dengan tradisi ngenger (numpang hidup dengan cara mengabdi). Maka, seorang pembantu biasa juga disebut abdi yang analog dengan konsep abdi dalem dalam sistem kekuasaan feodal (kerajaan) di Jawa.
Menurut Kiai Ancol dalam bukunya, Merdesa (Pusat Dokumentasi Guntur Jakarta: 2008), istilah babu (artinya ibu) lahir dari seorang perempuan pribumi yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga dalam keluarga China peranakan yang dinikahi oleh sang juragan. Sementara batur berasal dari bahasa Jawa yang artinya teman atau pembantu.
Dalam perkembangannya, istilah babu atau batur berstigma buram seiring dengan pelembagaan nilainya yang memosisikan para pelakunya sebagai manusia-manusia (yang ter) tersubordinasi. Secara salah kaprah, batur dan babu cenderung dimaknai sebagai ”orang rendahan”, ”pesuruh”, ”jongos”, ”gedibal”, dan berbagai predikat lain yang merendahkan. Seiring dengan makin menguatnya gerakan hak asasi manusia, istilah-istilah buram itu pun mulai tergantikan dengan kata yang lebih egaliter, modern, dan profesional: pekerja rumah tangga.
Para pengguna jasa PRT tidak bisa lagi bersikap sewenang-wenang karena PRT punya hak- hak profesional yang harus dipenuhi.
Dengan perubahan istilah hingga status sosialnya dari babu/batur ke PRT, semestinya berubah pula nasib para PRT. Namun, dalam praktiknya tidaklah demikian. Masih kerap terjadi eksploitasi dan berbagai tindak kekerasan yang bersifat fisik, psikologis, dan ekonomis.
Mungkin nasib para PRT belum seberuntung tokoh Pariyem, Inem, atau Mister Rigen dalam jagat fiksi. Namun, minimal saya membayangkan, relasi antara Pak Ageng dan Mister Rigen yang egaliter, demokratis, berkeadilan, kuyup kasih sayang dan solidaritas itu bisa dijadikan inspirasi dalam membangun relasi antara PRT dan pengguna jasa PRT.
Tugas kebudayaan ini bukan hanya ada pada pemerintah, tetapi juga mereka yang menggolongkan dirinya juragan.
______________
*) Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan Bermukim di Yogyakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/teroka-prt-yang-tak-seindah-novelnya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar