Ahmad Zaini*
http://sastra-indonesia.com/
Di depan rumah, Mbah Sanusi duduk sambil menghisap rokok. Dari mulutnya keluar kepulan asap membumbung menerpa atap rumahnya. Seketika asapnya menghilang bersama hembusan angin yang lewat pada siang hari. Tubuh kurus yang terbalut seragam veteran disandarkan pada kursi goyang peninggalan orang tuanya sewaktu zaman penjajahan. Di sebelah kanan seragam dinasnya tersemat lencana veteran yang dikenakan setiap peringatan hari pahlawan.
Mbah Sanusi meraih tongkat warna coklat mengkilat yang disandarkan di dinding rumah. Tangan kurus dengan kulit keriput perlahan memegang erat tongkat yang sejak jaman penjajahan sebagai teman hidupnya. Tongkat tersebut sebagai penyangga kaki kanannya yang cacat akibat disiksa oleh para kompeni waktu itu. Masih segar dalam ingatannya, sewaktu ia berangkat menuju pos komando. Di tengah perjalanan ia dihadang oleh para kompeni. Ia diperiksa kemudian ditangkap. Tidak cukup sampai di situ, Mbah Sanusi juga disiksa hingga kaki kanannya menderita cacat permanen seperti sekarang ini.
Jika ia mengenang masa lalu, saat Mbah Sanusi bergerilya beserta kawan-kawannya, ia selalu menitikkan air mata. Ia merasakan betapa beratnya merebut kemerdekaan yang selama bertahun-tahun dikuasai penjajah. Setiap malam ia bergerilya, menyelinap ke sarang-sarang penjajah guna memata-matai mereka. Setiap hari ia meninggalkan istrinya yang sedang hamil delapan bulan. Sampai-sampai saat kelahiran anak pertamanya ia tidak bisa menunggui istrinya yang berjuang antara hidup dan mati demi kelahiran buah hatinya. Akan tetapi, semangat patriotis dan nasionalis Sanusi muda tetap bergelora mengalahkan kepentingan keluarga demi martabat nusa dan bangsa.
Lamunan Mbah Sanusi ke masa lalunya seketika sirna ketika mendengar bunyi sirine meraung dari tengah alun-alun kota. Bergegas ia menyeka air matanya dengan sapu tangan di sampingnya. Mbah sanusi berdiri dengan bantuan tongkat di tangan kanannya. Badannya gemetar saat melangkahkan kakinya yang mulai ringkih. Ia berdiri di pagar rumahnya menyaksikan segelintir orang yang sedang melaksanakan upacara memperingati Hari Pahlawan. Sayup-sayup terdengar aba-aba komandan upacara memberikan istruksi kepada peserta upacara lalu disusul renteran tembakan yang berdentuman di angkasa. Riuh rendah lagu Indonesia Raya berkumandang dari tengah lapangan. Diiringi kibaran merah putih yang merayap menapaki tiang. Tangan kanan Mbah Sanusi bergerak memindah tongkat penyangga kakinya. Ia alihkan tongkatnya ke tangan kiri. Dengan segala tenaga yang tersisa, tangan kanan Mbah Sanusi membentuk sikap hormat kepada sang saka merah putih. Mata sayu berkaca-kaca terkena pantulan cahaya surya. Tak lama kemudian air mata bening sisa-sisa perjuangan masa lalu meleleh melintasi pipinya yang sudah kempong dimakan usia.
Panas menyengat tiada ia rasa. Semangat kepahlwanan Mbah Sanusi seakan menggelora kembali. Namun, apa daya energi sudah tidak mumpuni. Akhirnya, ia hanya pasrah saat putra pertama yang kini mengasuhnya, menuntun tangan kirinya mengajak masuk ke rumah.
”Merdeka!” pekik Mbah Sanusi kepada putranya.
”Merdeka!” putranya menimpali dengan tangan kanan mengepal.
Tubuh kurus Mbah Sanusi kemudian disandarkan lagi pada kursi yang berada di ruang tamu.
”Sholihan, tolong nyalakan televisi!” perintah Mbah Sanusi kepada putranya yang kini sudah menduda.
Pukul 12.00 WIB ada tanyangan berita dari salah satu televisi swasta. Setiap ada tanyangan berita, Mbah Sanusi selalu mengikutinya. Ia ingin mengetahui perjalanan bangsa ini yang sudah memasuki usia setengah abad lebih. Pada tayangan pertama, tersiar kabar pembunuhan. Seorang anak tega membunuh ayah kandungnya gara-gara tidak menuruti permintaannya agar dibelikan sepeda motor. Pada berita berikutnya, telah terjadi tawuran antarpelajar yang dirangkai dengan berita rekaman video mesum yang melibatkan seorang siswi dengan seorang pejabat pemerintahan. Berita selanjutnya berisi para petinggi negara terlibat kasus tindak pidana korupsi. Dan yang terakhir adalah berita kelaparan yang melanda berbagai daerah di Indonesia.
”Astaghfirullahal Adziim!” ucap Mbah Sanusi seraya melepaskan rokok yang dijepit dengan kedua jari tangan kanannya.
Ia merasa belum sempurna perjuangannya di masa lalu. Melihat kondisi bangsa yang semakin rusak seperti sekarang ini, ingin rasanya ia bangkit untuk berjuang menanggulangi kebobrokan moral yang dialami para pejabat dan generasi penerus bangsa. Terasa sia-sia pula darah yang mengalir di setiap luka teman-temannya.
”Kami telah berjuang dengan mengorbankan harta benda, nyawa, dan keluarga. Tapi apa balasan generasi muda sekarang ini? Kami tidak butuh tanda jasa. Kami tak butuh penghargaan. Kami tak butuh dikenang. Yang kami butuhkan adalah munculnya generasi-generasi baru yang meneruskan perjuangan kami dan juga kawa-kawan yang gugur di medan peperangan,” keluhnya.
Suara Mbah Sanusi melemah. Tubuh kurusnya gemetar. Lambat laun tubuh itu lunglai di sandaran kursi tuanya. Sholihan bergegas membopong tubuh ayahnya lantas dibaringkan di sebuah ranjang beralas kasur dengan sprei berlogo veteran. Penyakit tuanya, asma, kambuh lagi. Napasnya tersengal-sengal. Tubuh kurusnya terguncang-guncang di atas ranjang. Sholihan segera memanggil tetangganya untuk dimintai bantuan memanggilkan dokter yang selama ini merawat orang tuanya. Tak lama kemudian dokternya datang.
Mbah Sanusi berjuang melawan asma saat upacara peringatan Hari Pahlawan berlangsung. Detik-detik menegangkan telah berlalu setelah dokter memberikan suntikan obat di bokongnya. Mbah Sanusi perlahan mulai sadar. Jari-jarinya bergerak seperti mengisyaratkan sesuatu. Sholihan yang sudah paham dengan isyarat itu segera mengambilkan sebatang rokok kepada ayahnya. Saat rokok itu akan disulut dengan korek api, dokter segera mencegahnya.
”Jangan diberi rokok, Mas!”
”Biarlah, Dok! Biarkan rokok ini menenangkan pikiranku. Tanpa rokok saya akan teringat dan trauma dengan tayangan berita yang baru saja kusaksikan tadi,” kata Mbah Sanusi menentang larangan dokter.
”Tapi, Mbah San, pengidap penyakit asma itu tidak boleh merokok!”
”Aku ingin merasakan racun tembakau ini karena bahaya racun rokok yang kurasakan tak sebanding dengan racun yang menggerogoti moral generasi muda sekarang,” ucapnya sekali lagi pada dokter yang merawatnya.
Sholihan sebagai putra satu-satunya mencoba memberikan pengertian kepada ayahnya. Tapi, selalu gagal. Setiap kali ia akan membujuk ayahnya agar tidak merokok, Mbah Sanusi selalu beralasan seperti itu lagi. Akhirnya, Sholihan menyerah dan menuruti apa yang diminta oleh ayahnya.
Sebatang rokok telah ia apit dengan dua jari tangan kirinya. Sholihan membantu menyulutkan korek api pada rokok ayahnya. Sekali disulut bara memerah di ujung rokok ayahnya merambat mendekati bibir hitam Mbah Sanusi akibat sering merokok. Dengan mendesah Mbah Sanusi menghisap rokok kemudian asap rokoknya disemburkan memenuhi ruangan tengah rumahnya. Sholihan, para tetangga dan dokter hanya diam mematung melihat aksi nekat yang dilakukan oleh Mbah Sanusi.
”Uhuk, uhuk, uhuk! Dok, tolong aku!” pinta Mbah Sanusi dengan suara parau.
Dokter beserta mereka yang masih berada di situ segera beranjak dari tempat mereka berdiri. Mereka segera menghampiri dan memeriksa keadaan Mbah Sanusi. Napasnya kembali tersengal. Tubuhnya terguncang-guncang. Dari mulut dan telinganya mengalir darah segar. Tubuh Mbah Sanusi segera diangkat ke ambulance yang dibawa oleh dokter. Segera ambulan itu melesat meninggalkan rumah sederhana di pinggiran kota menuju rumah sakit.
Setengah hari Mbah Sanusi dalam perawatan intensif tim dokter. Mata sayunya perlahan terbuka. Ia melihat sekelilingnya dengan senyum keramahan. Bisik suaranya memanggil anak semata wayangnya. Kemudian telinga Sholihan didekatkan pada mulutnya. Sebentar Sholihan mencium bau amis darah yang bercampur dengan bau asap rokok.
”Panji-panji perjuangan harus ditegakkan. Selamatkan generasi penerus bangsa dari segalam macam bentuk penjajahan. Lindungilah moral mereka dari racun kehidupan modern!” bisiknya.
Kemudian mata yang sempat terbuka perlahan tertutup dan terpejam untuk selama-lamanya.
”Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiuun!” kata dokter.
”Beliau telah meninggal dunia!” sambungnya.
Mulut mungil dengan simpul senyumnya mengakhiri perjuangan Mbah Sanusi selama ini. Ia telah pergi ke tempat peristirhatan abadinya.
Karangan aneka bunga berjajar rapi di pagar rumahnya sebagai ungkapan belasungkawa dari kerabat dan handai taulan. Gundukan tanah dengan batu nisan telah mengubur sejuta kenangan selama dalam perjuangan. Namun harum wangi bunga yang ditaburkan di atas pusara, semerbak wanginya tercium sepanjang masa. (*)
Lamongan, November 2011
*) Dilahirkan di Lamongan, 7 Mei 1976. Beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat di Radar Bojonegoro, Majalah MPA (Depag Jatim), Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (Dewan Kesenian Lamongan,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Kidung Rumeksa Praja (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar