Maman S Mahayana *
http://mahayana-mahadewa.com/
Pembuka Kata
Perbincangan tentang “Ruh dan Ideologi Puisi Nusantara” ibarat pencarian jalan pulang dalam sebuah rimba-raya yang luas, penuh belukar, dan unik; khas. Perbincangan itu tidak sekadar upaya “menemukan” kembali masa lalu yang belum terang, mungkin agak gelap, dan boleh jadi juga sesat, tetapi punya posisi penting sebagai tindak meretas jalan ke depan yang lebih sesuai dengan jiwa dan karakteristik jati diri pemilik sah negeri ini.
Dalam usaha itu, tentu diperlukan pendedahan berbagai jenis dan ragam pepohonan (puisi) yang tumbuh di sana, selain juga coba meneroka keberagaman dan kekhasannya, kekayaan dan kemungkinan perjumpaan dengan para penghuninya, dan sekaligus mencari jawab atas pertanyaan: mengapa pepohonan dan ragam tetumbuhan dengan segala semak-belukarnya itu bisa tumbuh subur di sana?
Bagaimanapun, sastra (: puisi) bukanlah makhluk ruang angkasa yang datang seketika secara serta-merta. Ia produk budaya yang dihasilkan anggota masyarakat melalui proses berpikir, melihat—merasakan, dan memaknai—menilai kondisi alam—masyarakat—zamannya. Dengan demikian, sastra sesungguhnya merupakan suara-suara kebudayaannya yang sudah nemplok begitu saja menyertai kelahiran, pertumbuhan, dan perubahan masyarakatnya. Maka, sebagai produk budaya, ia menyimpan ruh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Di sana pula ada ekspresi yang mungkin tiba-tiba saja mencelat atau menggelinding melalui proses panjang kebersamaannya dengan alam, lingkungan, tata nilai dan tradisi masyarakat, serta segala apa pun yang ikut mempengaruhi proses penciptaannya.
Dalam lingkup sastra Melayu, misalnya, pemahaman paripurna tentang itu mustahil sampai jika kita mengabaikan ihwal sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, sastra sesungguhnya tidak mungkin dapat melepaskan diri dari sejarahnya, dari proses penjadiannya, dari lingkungan alam, masyarakat, dan kebudayaan yang melingkarinya. Dikatakan Muhammad Haji Salleh, “Sastra –tentu di dalamnya termasuk puisi—ialah seni Melayu yang tertua dan terumit yang memperlihatkan genius bangsa ini, terutama peribahasa, pantun, dan Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu). Sastra Melayu dibentuk oleh mediumnya –sesuatu bahasa yang juga mempunyai wataknya yang khusus, dengan sistem ucapan, bunyi dan pemaknaan. Konsep keindahan bahasa pula pasti dipinjam dan dipupuk oleh bangsa yang menciptakan melalui waktu, dan berubah mengikut perjalanan waktu itu. Inilah hakikat tapak teori yang amat dasar.”[1]
Sastra sesungguhnya bukan sekadar sebuah teks yang mandiri —yang diyakini kaum strukturalis sebagai teks yang otonom dan terbebas dari latar belakang sejarah dan sosio-budaya—tetapi sebuah pewartaan tekstual yang di dalamnya melekat ruh budaya, spirit sang sastrawan—penyair dalam memaknai dunia persekitarannya, dan dalam menatap latar depan yang menjadi harapan idealnya. Teks sastra (Nusantara) lahir dari dalam rahim konteks kenusantaraan yang membedakannya dari teks sastra lain yang berasal dari negeri lain, bangsa lain, kebudayaan lain. Oleh karena itu, harus ada tafsir dan analisis mengenai konteks budaya, sejarah, sosiologis, atau bahkan psikologi berdasarkan alam pikiran yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam diri masyarakat Nusantara sendiri.[2]
Begitulah, sastra Nusantara adalah lanskap yang penuh warna-warni. Keberagaman dan heterogenitasnya adalah sebuah keniscayaan yang menunjukkan keberbedaan dan kekayaannya sekaligus. Meski bahasa Indonesia digunakan sebagai medium yang sama, penyair Bali dan Madura tetaplah akan menunjukkan kekhasannya masing-masing; penyair Melayu, Minang, Palembang, dan Aceh atau Jawa—Sunda, meski berjarak begitu dekat, tetaplah akan memperlihatkan karakteristiknya yang berakar pada kultur etnik.[3]
Keniscayaan heterogenitas etnis itulah yang tidak boleh diabaikan manakala kita membincangkan sastra (: puisi) Nusantara. Maka, untuk memahami ruh dan ideologi puisi Nusantara, tidak dapat lain, kita mesti bergerak dari fondasinya; dari dasarnya, seperti diingatkan Muhammad Haji Salleh, menuju puncak; menuju mahkota. “Bahagian bawah perlu dikuasai sebanyak mungkin karyanya, pemikiran pengarangnya, masyarakat dan bahasanya, sebelum kita harus memikirkan untuk membina dan menulis suatu teori.” [4] Itulah jalan yang benar yang dirintis Muhammad Haji Salleh dalam proses panjang bertungkus lumus menghasilkan karya fenomenalnya, Puitika Sastera Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000). Meski yang dilakukan penyair intelektual ini terfokus pada sastra Melayu, langkah itu justru menempatkan khazanah negeri sendiri sebagai basis, dasar, fondasi, dan titik berangkat. Dengan begitu, pemahaman kita jadi lebih sesuai dan punya cantelan pada tradisi masa lalu, pada potret masyarakat zamannya, dan pada kebudayaan yang tentu saja sangat mempengaruhi muatan teks itu. Di sinilah, masa lalu bukan harus dikubur semati-matinya sebagaimana dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana, melainkan pelengkap untuk memahami perjalanan dan perkembangannya sekarang. Bukankah sejarah mengajari kita untuk memperbaiki kesalahan, memahami latar belakang kondisi sekarang, dan sebagai titik berangkat menuju latar depan?
Gerbang Utama
Nusantara adalah wilayah yang dihuni oleh masyarakat terbuka. Sikap inklusivisme itulah yang menyebabkan bangsa asing mana pun yang datang ke wilayah Nusantara akan diterima tanpa syakwasangka dan rasa curiga. Maka, kedatangan para gujarat India yang membawa Hinduisme dan Buddhisme, disambut tanpa peperangan, tanpa resistensi. Adanya kesamaan sikap dalam memandang penguasa jagat raya dan perlakuan terhadap alam, memungkinkan Hinduisme dan Buddhisme tumbuh subur, bahkan dianggap memperkaya kehidupan mitos dan religi masyarakat di wilayah Nusantara. Inilah gelombang pertama pertumbuhan kebudayaan Indonesia.
Gelombang kedua terjadi ketika Islam diperkenalkan dan disebarkan dengan cara yang begitu luwes, toleran, dan akomodatif. Baju dan asesoris Hinduisme dan Buddhisme dimanfaatkan untuk kepentingan penyebaran Islam. Akibatnya, meski Islam menyebar ke seantero wilayah Nusantara, jejak Hindu, Buddha, anismisme dan kultur dan kepercayaan lokal tetap hidup berkelindan dengan etika dan peribadatan Islam. Jadilah kebudayaan Islam—Indonesia penuh warna-warni yang berbeda dengan tradisi Islam di negeri asalnya.[5]
Masuknya bangsa Barat dengan Belanda yang paling lama memainkan peranannya, mulai menggoncangkan tata nilai yang semula mengalir begitu saja. Tambahan lagi, Belanda dengan segala inferioritasnya sebagai bangsa yang di Eropa tak dipandang sebelah mata lantaran negerinya yang kecil dan popularitasnya sebagai bangsa pecundang, harus pandai-pandai menjaga citranya sebagai bangsa superior dan berbudaya. Terjadilah serangkaian manipulasi melalui politik pembelandaan, pendidikan, agama, kebudayaan, dan … sastra![6]
Pintu Masuk
Dari pintu manakah kita masuk untuk coba menelusuri rimba raya puisi Nusantara dan coba memahami ruh dan ideologinya? [7] Jika saja bahasa Sunda atau Jawa yang terpilih sebagai bahasa Indonesia, 28 Oktober 1928, tentu penelusuran bahasa dan sastra Indonesia akan sampai merambat ke tradisi kebudayaan Sunda atau Jawa. Tetapi, sejarah sudah menentukan lain. Latar belakang sejarah, fakta kebahasaan, dan harapan bagi bangsa Indonesia di masa depan, telah membawa nasib bahasa Melayu (Riau) yang diangkat sebagai bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia seketika berfungsi sebagai bahasa persatuan bagi segenap masyarakat berbagai etnik di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penelusuran tentang perkara sastra (: puisi) Nusantara, pertama-tama dan terutama, tidak bisa lain, meski melangkah ke sumbernya: bahasa Melayu dengan sejarahnya yang panjang sebagai lingua franca, dengan penyebarannya yang begitu luas menerabas batas teritorial politik kenegaraan, dan dengan tradisi kesusastraan yang dalam perkembangannya yang menjadi terkotak-kotak lantaran Traktat London dan diberlakukannya politik kolonial Belanda (di kepulauan Indonesia) dan Inggris (di Semenanjung Melayu).
Meskipun begitu, bagi Indonesia ada pula persoalan lain yang berkaitan dengan Melayu sebagai etnis dalam berhadapan dengan etnis lain. Bukankah Melayu sebagai etnis dalam konteks keindonesiaan, punya posisi yang sama dengan etnis lain yang bertebaran di kepulauan Nusantara? Bukankah konsep Nusantara itu juga tidak identik dengan Indonesia? Pertanyaannya kini: apa yang dimaksud dengan ruh dan ideologi (puisi) Nusantara? Jika yang dimaksud itu adalah kesusastraan yang berakar pada bahasa Melayu, bagaimana pula dengan posisi kesusastraan Indonesia yang berada dalam kepungan tradisi dan budaya etnik?
Mesti disadari, penempatan sastra Indonesia sebagai sastra nasional, sesungguhnya bersifat hegemonik.[8] Seperti juga klaim tentang kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, tanpa disadari rumusan itu menafikan kebudayaan daerah yang tidak (atau belum) mencapai puncak. Siapa pula yang berhak menentukan kebudayaan daerah yang berada di puncak dan yang tidak berada di puncak? Bukankah cara pandang itu juga bersifat diskriminatif, seolah-olah kebudayaan daerah (etnik) yang tidak berada di puncak sebagai bukan kebudayaan (nasional) Indonesia?
Klaim sastra Indonesia (nasional) dan sastra etnik (daerah), pada awalnya berkaitan dengan semangat hendak meneguhkan jatidiri bangsa (Indonesia) dalam usahanya mengobarkan semangat nasionalisme. Di sana, dalam posisi sastra Indonesia sebagai sastra nasional, meski syaratnya sekadar menggunakan bahasa Indonesia, implikasinya menciptakan dikotomi: sastra Indonesia dan bukan sastra Indonesia yang dijerumuskan sebagai sastra daerah, sastra etnik, sastra tradisional, atau sastra lama sebagaimana yang ditegaskan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam kaitannya dengan dikotomi sastra (nasional) Indonesia dan sastra daerah (etnik, tradisional, lama), duduk perkaranya akan lebih jelas jika kita coba menelusuri ke belakang, ke sejarah yang diwariskan oleh cara pandang Nederlando sentris.[9]
***
Itulah pintu kita memasuki problem dasar yang terjadi dalam kesusastraan (termasuk di dalamnya puisi) Indonesia. Mari kita periksa!
Mengawali langkah ini, saya memulai dengan mengutip dua bait pantun berikut ini:
Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
..........Hutang emas boleh dibayar
..........Hutang budi dibawa mati
Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Bolehlah kita berjumpa lagi
Salah satu ciri khas yang menandai pantun [10] adalah adanya dua larik pertama yang disebut sampiran atau pembayang (Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti; Kalau ada sumur di ladang/ Bolehlah kita menumpang mandi), dan dua larik kedua yang disebut isi (Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati; Kalau ada umur yang panjang/ Bolehlah kita berjumpa lagi). Itulah sebabnya, persajakan dalam pantun disebut sebagai a-b-a-b. Hubungan sampiran dan isi, secara semantis sering kali terkesan tidak ada hubungannya. Perhatikan saja, adakah kaitan antara Pisang emas dibawa berlayar dengan Hutang emas boleh dibayar atau Kalau ada sumur di ladang dengan Kalau ada umur yang panjang? Demikian juga, bagaimana kita menjelaskan hubungan antara Masak sebiji di atas peti dengan Hutang budi dibawa mati atau Bolehlah kita menumpang mandi dengan Bolehlah kita berjumpa lagi? Sebagai sebuah nasihat untuk menekankan hutang emas boleh dibayar/hutang budi dibawa mati atau Kalau ada umur yang panjang/ Bolehlah kita berjumpa lagi, boleh saja orang beranggapan bahwa hubungan antara sampiran dan isi lebih merupakan anasir psikologis. Orang akan lebih menerima sebuah nasihat atau sindiran jika lebih dahulu diawali pembayang (sampiran). Itulah salah satu alasan, bahwa antara sampiran dan isi sesungguhnya ada kaitannya.
Sekarang perhatikan dua bait syair yang dikutip dari Syair Bidasari:
Dengarlah suatu riwayat
Raja di desa negeri Kembayat
Dikarang fakir dijadikan hikayat
Dibuatkan syair serta berniat
Adalah raja sebuah negeri
Sultan Agus bijak bestari
Asalnya bagianda raja yang bahari
Melimpahkan pada dagang berperi
Jelas di sini, dalam syair tak ada sampiran, begitu juga persajakannya: a-a-a-a yang berbeda dengan pantun. Sekarang coba perhatikan beberapa bait gurindam yang dikutip dari Pasal Kesepuluh dan Kesebelas, Gurindam Dua Belas, karya Raja Ali Haji berikut ini:
Pasal Kesepuluh:.................... Pasal Kesebelas:
Dengan bapa jangan durhaka.......... Hendaklah berjasa
Supaya Allah tidak murka............ Kepada yang sebangsa
Dengan ibu hendaklah hormat......... Hendaklah jadi kepala
Supaya badan dapat selamat.......... Buang perangai yang cela
Dengan anak janganlah alpa.......... Hendaklah memegang amanat
Supaya malu jangan menimpa.......... Buanglah khianat
Dengan kawan hendaklah adil......... Hendaklah mulai
Supaya tangan jadi kepil............ Jangan melalui
Bandingkanlah pantun, syair dan gurindam tadi dengan puisi “Permintaan”[11] dan “Tanah Air” karya Muhammad Yamin, puisi “Beranta Indera” karya Mohammad Hatta,[12] “Bukan Beta Bejak Berperi” karya Rustam Effendi, dan dua puisi S Yudho, berikut ini:
PERMINTAAN
Muhammad Yamin
Mendengarku ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Mendengarkan lagu penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah Timur pada pinggirku
Dilipuri langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mulai tertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur
TANAH AIR
Muhammad Yamin
Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai:
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatra namanya, tumpah darahku.
Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.
Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-randai:
“Wahai Andalas, pulau Sumatra,
“Harumkan nama, selatan utara!
Bogor, Juli 1920
BERANTA INDERA
Mohammad Hatta
Lihatlah timur indah berwarna
Fajar menyingsing hari pun siang
Syamsu memancarkan sinar yang terang
Khayalan tersenyum berpunca indera
Angin sepoi bertiup dari angkasa
Merembus ke tanah, ranting diguncang
Margasatwa melompat ke luar sarang
Melihat beranta [13] indera indah semata
Langit lazuardi teranglah sudah
Bintang pun hilang berganti-ganti
Cahaya Zoehari mulai muram
Hewan menerima selawat alam
Hati pun girang tiada terperi
Melihat kekayaan Subhan Allah
BUKAN BETA BIJAK BERPERI [14]
Rustam Effendi
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Mesti menurut undangan mair
Sarat syaraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma
Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak na’datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurung lukisan mamang
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingakain pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.
FADJAR[15]
S Yudho
Di Timur sinar kejora memancar
Kemerlip bintang bagaikan disebar
Fajarlah mulai.
Gilang gemilang awang dipandang
Kabut meliput berarak melayang
Menarik hati.
Angin sayup meniup dingin terasa
Menyegar badan, menderita lara
Di alam berseri.
Di sawah padi mengalun diayun
Sepoi, mengerosok rimbun di kebun
Di saat sepi.
Kutinjau embun di daun berkilau
Bak nilam di sinar surya menyilau
Di pagi hari.
Mendengar aku peladang berlagu
Menuju ke sawah cangkul dibahu
Bersenang hati.
Berkicau murai menyambut matari
Penawar fajar tanda pagi hari
Lama kunanti
AKH, PUSPA …..! [16]
S Yudho
Bagai seroja
Kenangan beta
Tunduk merokok
Di senja sejuk
Pagi menanti
Si matahari
Semerbak mekar
Karena sinar.
Memeluk dagu
Hati merayu
Teringat kasih
Mengapa sedih
O jiwa! beta
Merasa papa
Melihat kembang
Jauh dipandang.
Pertanyaannya kini: apa yang membedakan pantun, syair, gurindam dengan puisi-puisi para penyair Indonesia itu? Bukankah dalam puisi-puisi itu, pola pantun, syair, dan gurindam, masih dapat kita telusuri jejaknya? Bahkan, puisi Rustam Effendi yang dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane sebagai puisi baru yang mengubur model puisi lama, sesungguhnya merupakan bentuk pantun dengan isi yang lain. Demikian juga, jika dikatakan puisi lama terikat oleh berbagai aturan, soneta karya Muhammad Yamin dan Mohammad Hatta juga mengikuti aturan tertentu?
Dalam sejumlah besar esainya yang dimuat majalah Poedjangga Baroe, Sutan Takdir Alisjahbana [17] dan Armijn Pane dengan tegas menyebut puisi-puisi Pujangga [18] Baru telah menenggelamkan puisi-puisi lama. Meski begitu, jika dicermati benar, sesungguhnya –sejauh pengamatan— para penyair Pujangga Baru itu pun belum sepenuhnya terbebas dari pengaruh pantun, syair, dan gurindam. Lalu mengapa harus ada pembedaan antara puisi lama dan puisi baru jika prosesnya masih kuat memperlihatkan jejak kesusastraan sebelumnya?
Dikotomi puisi Indonesia lama dan baru itu, lalu berkembang menjadi puisi (sastra) tradisional dan modern. Maka, ketika sejumlah pengamat sastra Indonesia [19] menelusuri sejarah sastra Indonesia, tiba-tiba saja titimangsa kesusastraan Indonesia dimulai dari zaman Balai Pustaka sebagai kesusastraan Indonesia modern dan kesuastraan zaman sebelumnya serta-merta dikatakan sebagai sastra tradisional. Jika secara tegas dikatakan, bahwa akar dan asal bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, maka mestinya akar dan dasar sastra Indonesia juga bersumber dari sana, yaitu kesusastraan Melayu. Dengan demikian, perjalanan kesusastraan Indonesia bersumber dari sana, karena kenyataannya memang begitu.
Akhirnya
Pertanyaan berikutnya: bagaimana dengan puisi Nusantara? Jika konsep Nusantara mewadahi sastra etnik, maka konsep sastra Nusantara juga di dalamnya termasuk sastra etnik. Kenyataannya, sejak awal kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan etnik yang ditulis atau yang menggunakan medium bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia itulah yang membedakan sastra Indonesia dan sastra etnik atau sastra Nusantara. Dengan demikian, dikotomi sastra Indonesia modern (baru) dan sastra Indonesia tradisional (lama), sesungguhnya telah menafikan ruh dan ideologi yang mengeram di sana.
Tambahan lagi, kajian (kritik sastra) tentang sastra (puisi, prosa, drama) Indonesia dalam beberapa dekade ini berkutat pada strukturalisme. Maka, sudah dapat diduga, analisisnya tidak akan jauh dari persoalan intrinsik. Teks sastra dibongkar berdasarkan strukturnya, dan tidak menyentuh persoalan yang melatarbelakangi dan pesan yang melatardepaninya. Jadi, jika hendak melacak dan menelusuri ruh dan ideologi yang mengeram dalam sastra (: puisi) Nusantara, pelajari dahulu kebudayaan dan masyarakat yang melahirkannya. Kiranya begitu, semoga begitu!
Mkl/msm/ppn/16/7/2011
Makalah Pertemuan Penyair Nusantara diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatera Selatan, Palembang, 16—18 Juli 2011.
* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok. Kini bertugas sebagai Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.
[1] Muhammad Haji Salleh, “Mencari Sebuah Teori Sastera Melayu,” Permata di Rumput, Gilang Sastera sebagai Ruang Bangsa, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008, hlm. 399.
[2] Armijn Pane menegaskan: “Seorang hamba seni hidoep dalam masjarakat, djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada masjarakat itoe, ia adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.” (“Kesoesasteraan Baroe” dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 1—5, Th. I, Djoeli—November 1933). Atau, seperti dikatakan Rene Wellek dan Austin Warren (Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 109—110), sastra sering dianggap sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya. “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society”).
[3] Periksa Maman S Mahayana, “Keindonesiaan Identitas Indonesia,” Kompas, Minggu, 26 Februari 1995, dimuat dalam blog: mahayana-mahadewa.com.
[4] Muhammad Haji Salleh, Op. Cit.
[5] Dalam mencermati kecenderungan sastrawan Indonesia Angkatan 70-an, Abdul Hadi WM mencatat, bahwa … sumber dan akar tradisi, khususnya tradisi masyarakat Nusantara ialah agama beserta sistem kepercayaan, peribadatan, dan bentuk-bentuk spiritualitas. Kebudayaan Indonesia tradisional, … tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan agama-agama besar, terutama Islam (Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 13). Bandingkan dengan pernyataan Amir Hamzah dalam artikelnya yang berjudul “Kesoesasteraan” (Poedjangga Baroe, No. 12, Th. II, Juni 1934) berikut ini:
“Kesusastraan Indonesia ini banyak dipengaruhi oleh kesusastraan tanah luar, tanah yang hampir dengan kepulauan Indonesia. Tambahan pula tanah yang mengelilingi Indonesia ini kaya dalam ilmu sastra.
Dalam pergaulan antara dua bangsa itu berpinjam-pinjaman kebudayaanlah mereka. Juga oleh jalan memeluk agama mereka yang datang itu maka diambil anak bumiputralah akan kebudayaan dan kesusastraan mereka, seperti kesusastraan dan kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam.”
[6] Pembelandaan (westernisasi) dilakukan hanya pada golongan priayi. Legitimasinya dilakukan melalui pemberlakuan stratifikasi sosial dengan bangsa Belanda dan Kulit Putih berada paling atas dan golongan pribumi berada paling rendah di bawah bangsa Asia Timur. Dalam bidang pendidikan, pelaksanaan Politik Etis dengan pendirian sekolah-sekolah untuk pribumi hanya terjadi di daerah-daerah perkebunan. Tujuannya untuk mencetak pekerja pribumi yang serba sedikit bisa berbahasa Belanda. Dalam bidang agama, kristenisasi dilakukan dengan sokongan dana dari kerajaan Belanda. Berbeda dengan proses Hindunisasi atau Islamisasi yang disampaikan dengan tetap menjaga toleransi, Kristenisasi yang dilakukan Belanda cenderung didasari semangat permusuhan. Maka, di banyak daerah di Nusantara, terjadi resistensi dan perlawanan. Penyebutan Belanda sebagai kafir sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan itu. Dalam bidang kebudayaan, Belanda sengaja membangun citra bangsanya sebagai mesias di satu pihak, dan menciptakan stigma bagi pribumi sebagai bangsa terbelakang dan belum berbudaya. Lalu, bagaimana dengan bidang sastra? Bagian inilah yang nanti akan dibincangkan lebih jauh.
[7] Judul yang ditawarkan Panitia tidak disertai keterangan tentang konsep puisi Nusantara; apakah yang dimaksud Nusantara itu wilayah kawasan Asean, dunia Melayu atau wilayah Indonesia? Juga tidak ada keterangan tentang konsep ruh yang dimaksud. Apakah akar, sumber, inspirasi, pengaruh, atau semuanya itu. Hal yang sama juga terjadi pada konsep ideologi. Apakah yang dimaksud ideologi di sana sebagai pesan tematik, spirit kultural, teologis, sosiologis, atau politis?
[8] Bersifat hegemonik sebenarnya sebagai konsekuensi penempatan bahasa Indonesia berada di atas semua bahasa daerah. Hal itu juga sesuai dengan butir ketiga pernyataan Sumpah Pemuda: “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
[9] Nederlando sentris adalah cara pandang kolonial (Belanda) dalam membangun sejarah. Mengingat sejarah disusun berdasarkan kepentingan kolonial, maka peristiwa apa pun yang digunakan sebagai objeknya, selalu akan memperlihatkan kepentingan kolonial. Sebutlah, misalnya, peristiwa pendirian Balai Pustaka (1908; 1917) yang seolah-olah bertugas hendak menyediakan bahan bacaan (yang baik) bagi pribumi. Sesungguhnya, di belakang itu, ada tujuan politik, yaitu untuk menangkal pengaruh bacaan yang diterbitkan oleh tokoh-tokoh pergerakan; dan sebalik itu, membangun citra Belanda sebagai dewa penyelamat (mesias) dan sekaligus menciptakan stigma negatif terhadap Islam dan golongan tua konservatif.
[10] Saya kutip pernyataan R.O. Winstedt tentang pantun: “orang asing yang belum mengenal pantun, boleh dikatakan orang itu belum mengenal rohani dan jalan pikiran orang Melayu yang sebenar.” (Harun Aminurrashid, Kajian Puisi Melayu, Singapore: Pustaka Melayu, 1960, hlm. 4)
[11] Dimuat Jong Sumatera, Februari—Maret 1920.
[12] Dimuat Jong Sumatera, November 1921. Dikutip dari ulasan Armijn Pane.
[13] Armijn Pane memberi catatan tentang kata beranta sebagai berikut: semacam perahu besar; beranta indera, maksudnya langit (Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” Poedjangga Baroe, No. 4, Th. I, Oktober 1933, hlm. 112—119.
[14] Pertjikan Permenungan, Djakarta: Poestaka Ra’jat, 1934.
[15] Poedjangga Baroe, No. 8, Th. II, Februari 1934, hlm. 232.
[16] Poedjangga Baroe, No. 10, Th. II, April 1934, hlm. 298.
[17] Periksa Pengantar Sutan Takdir Alisjahbana dalam Puisi Lama, Djakarta: Pustaka Rakjat, 1961; cetakan pertama, 1948. Bandingkan dengan pengantarnya pada dalam Puisi Baru, Jakarta: Dian Rakyat, 1979; Cetakan Pertama, 1946.
[18] Penamaan Pujangga, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, untuk membedakannya dengan bujangga (sastrawan keraton, Jawa) dan penulis syair atau pantun. Bagi Alisjahbana, pujangga baru adalah penulis (sastrawan) baru yang menyuarakan sukma, kalbu, jiwa yang dinamis, sedangkan pujangga lama segalanya dibelenggu oleh suasana yang statis yang tidak menunjukkan spirit untuk maju dan berkembang. Kini, penulis puisi (yang baik) dikatakan juga sebagai penyair yang sebenarnya bermakna penulis syair.
[19] Hampir semua penulis sejarah sastra Indonesia membuat garis tegas antara sastra Indonesia tradisional dan sastra Indonesia modern. Maka pernyataan Ajip Rosidi tentang kapankah kesusastraan Indonesia lahir, menegaskan garis pemisah, seolah-olah sastra Indonesia lahir tanpa proses. Tiga buku Amin Sweeney tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menjelaskan hubungan perjalanan sastra Melayu menuju sastra Indonesia. Kelalaian para penulis buku sejarah sastra Indonesia itu—termasuk A Teeuw dan H.B. Jassin—terutama disebabkan lantaran penelusurannya dimulai pada zaman Balai Pustaka (1908; 1917), dan tidak coba melacak jauh ke belakang, ke khazanah sastra yang dimuat berbagai majalah dan suratkabar yang terbit akhir abad ke-17. Akibatnya, dalam pengajaran sastra di sekolah, bahkan dalam perbincangan tentang sejarah sastra (Indonesia) dikotomi tradisional—modern itu masih saja terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar