Seno Joko Suyono
http://majalah.tempointeraktif.com/
AMPLOP itu lusuh. Sudah sejak 1968 dia terjepit di dalam sebuah map karton kuning. Amplop itu dialamatkan kepada majalah Sastra, Jalan Kramat Sentiong 43, Jakarta. Nama pengirimnya hampir tak terbaca—karena tertutup sebuah klip map. Bila kita mencabut klip itu, terbacalah nama pengirimnya dengan alamat 2-nd Floor Maritime Building Collyer Quay, Singapore.
Sepintas ini bukan amplop istimewa dan nama yang tercantum bukanlah nama yang istimewa. Rak tempat amplop itu adalah rak yang memuat ratusan dokumentasi H.B. Jassin, tempat dia menyimpan surat para sastrawan, coret-coretan surat cinta pribadi, notes-notes kecil, serangkaian kuitansi, bahkan kertas undangan perkawinan sejak 1940-an.
Amplop lusuh itu berusia 32 tahun. Dan nama pengirimnya, Soedihartono, disamarkan. Tetapi ini nama penting, karena itulah nama asli Ki Pandjikusmin, penulis cerpen Langit Makin Mendung. Peneliti Ulrich Kratz di dalam buku daftar nama sastrawan Indonesia juga mencantumkan nama itu sebagai nama asli Ki Pandjikusmin. Inilah penulis cerpen—yang sebenarnya dari segi artistik sangat tidak menarik—yang pada 1968 mengundang reaksi umat Islam dan menyeret H.B. Jassin ke muka pengadilan. Cerpen ini pula yang mengakibatkan pecahnya sebuah polemik sastra berkepanjangan hingga dua tahun lamanya yang meributkan soal fantasi, kebebasan mencipta, dan agama .
Jassin bersikukuh tak mengungkap nama pengarang ataupun identitas lainnya. Dia maju ke meja pengadilan sebagai penanggung jawab, dan hingga akhir hayatnya 40 hari silam, nama Ki Pandjikusmin tetap misterius. Kekukuhan H.B. Jassin untuk tak membeberkan identitas Ki Pandjikusmin bahkan kepada istrinya adalah konsistensi. Tetapi karena unsur misterius itu pula muncul berbagai dugaan yang ganjil, bahkan lucu, tentang identitas penulis ini. Siapakah Ki Pandjikusmin?
Marilah kita melakukan kilas balik. Cerpen Langit Makin Mendung dipublikasikan di majalah Sastra bulan Agustus 1968. Tidak lama setelah cerpen itu dipublikasikan, pihak Kejaksaan Tinggi Sumatra melarangnya karena dianggap menghina kesucian agama Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra disita pihak berwajib dari agen-agen dan toko-toko buku di Kota Medan. Tindakan itu menimbulkan reaksi kalangan sastrawan di Jakarta ataupun Medan.
Di Medan, Zakaria M. Passe, Sori Siregar, dan Rusli A. Malem membuat stensilan protes. Di Jakarta, Trisno Sumardjo, D. Djajakusuma, Umar Kayam, Taufiq Ismail, dan Slamet Sukirnanto menandatangani pernyataan protes.
Pada 22 Oktober 1968, lewat redaksi Harian Kami, Ki Pandjikusmin mencabut cerpennya dan menganggap tak pernah ada. “Sebermula sekali bukan maksud saya untuk menghina agama Islam, tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Saw, sorga dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa regime Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya dalam bentuk cerpen; alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam,” demikian Ki Pandjikusmin.
Tapi, kehebohan berlanjut di Jakarta. Kantor majalah Sastra di Kramat Sentiong 43 didatangi sekitar 50 pemuda. Mereka mencorat-coreti dinding: HB Jassin Kunjuk, HB Jassin tangan kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra Anti Islam. Penanggung jawab majalah Sastra, Darsjaf Rachman dan H.B. Jassin, pada 28 Oktober 1968 akhirnya mengeluarkan surat pernyataan maaf. Tapi suasana bertambah panas ketika Menteri Agama K.H. Mohd. Dahlan menyatakan bahwa cerpen Langit… menghina Tuhan, agama, para nabi, malaikat, kiai, Pancasila, dan UUD 1945, dan menganggap penulisnya atau penanggung jawabnya patut diajukan ke muka pengadilan.
Setelah melalui silang pendapat seru, akhirnya H.B. Jassin diajukan ke pengadilan. Di persidangan, Jassin menolak membeberkan identitas Ki Pandjikusmin. Sikap itu berpegang pada Undang-Undang Pers 1966—yaitu bila sang pengarang sendiri tidak membuka identitasnya, redaksi mempunyai hak tolak untuk memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya. Tak tampilnya Ki Pandjikusmin mengundang banyak spekulasi. Setahun sesudah peristiwa, tajuk rencana Indonesia Raja masih menulis: Ki Pandjikusmin, Tampillah Engkau Sekarang Sebagai Ksatria. Belum lagi banyak tafsiran tentang Ki Pandjikusmin. Ada anggapan Ki Pandjikusmin adalah singkatan dari “kibarkan panji-panji komunis internasional”. Ada yang menduga Ki Pandjikusmin tak lain adalah H.B. Jassin sendiri. Dalam tanya-jawab persidangan, H.B. Jassin mengatakan bahwa sang pengarang adalah pelaut. Alamatnya berpindah-pindah. Sampai saat pengadilan saja, Jassin mengaku hanya mengenal dia melalui surat-menyurat.
Setelah meneliti surat-surat H.B. Jassin dan menemukan beberapa kertas lusuh tulisan tangan asli Ki Pandjikusmin, TEMPO berkesimpulan alamat “pengarang misterius” ini memang berpindah-pindah dan terkesan menutup diri. Tanggal 31 Juli 1967, saat mengirim cerpen berjudul Bintang Maut, alamatnya di Kebonkosong Bunderan No. 94 F, Jakarta. Dalam surat pengantarnya ia mengatakan bila tak memenuhi syarat, mohon cerpen dikembalikan. Oktober 1967, H.B. Jassin menjawab ke alamat itu: “Cerpen saudara, Bintang Maut, yang dikirim dengan nama samaran Ki Pandjikusmin, sedianya telah kami setujui untuk dimuat dalam majalah Horison. Kebetulan, bulan November, Sastra akan terbit kembali. Dengan seizin redaksi Horison, bolehkah kami memuat cerpen Saudara itu dalam majalah Sastra?” Di akhir surat, Jassin melampirkan formulir daftar pengarang dan meminta Ki Pandjikusmin mengisinya untuk dokumentasi. Sekaligus, Jassin meminta ia melampirkan foto.
Surat itu dijawab oleh Ki Pandjikusmin pada 12 Oktober 1967 ke rumah Jassin, Jalan Siwalan 3 Mahoni. Anehnya, alamatnya berbeda dan dikirim dari Jawa Timur, yakni Jalan Krida No. 5, Probolinggo. Isinya adalah dia tak berkeberatan apabila naskahnya dimuat di majalah Sastra, tapi dia tidak mau mengisi lampiran dan foto. Alasannya, sebagai pengarang, karya-karyanya dianggap belum memadai dan memuaskan hati.
Bintang Maut akhirnya dimuat dalam majalah Sastra pada November 1967. Cerpen Domba Kain selanjutnya dimuat di majalah Sastra edisi Mei 1968. Artinya, sebelum Agustus 1968, sudah dua cerpen Ki Pandjikusmin yang dimuat di Sastra. Dalam dokumentasi H.B. Jassin, TEMPO juga menemukan naskah Ki Pandjikusmin berjudul Hujan Mulai Rintik, yang merupakan naskah sambungan cerpen Langit Makin Mendung dan belum pernah dipublikasikan.
Syahdan, pada 1970, majalah Ekspres pimpinan Goenawan Mohamad menurunkan laporan utama tentang H.B. Jassin dan Ki Pandjikusmin. Adalah Redaktur Pelaksana Usamah yang berhasil menemuinya. Artikel majalah Ekspres, yang antara lain ditulis oleh redaktur Taufuq Ismail, itu tak menyebut nama asli Ki Pandjikusmin dan juga tak menampilkan foto Ki Pandjikusmin. Majalah ini juga kemudian menulis identitas sang “misterius” ini agak lengkap.
Pandjikusmin lahir dari keluarga Islam. Nama Kusmin diambil dari nama ayahnya saat kecil, sementara Pandji nama kakeknya dari pihak ibu. Ayahnya menikah lagi dalam pengungsian pada 1945, di Malang. Sejak berumur lima tahun, ia ikut ibu tiri. Ibu tirinya adalah seorang Protestan. Ia disekolahkan di sekolah Kristen di Malang dan oleh ibunya dan dididik sebagai Protestan.
Semasa sekolah dasarnya di Malang, ia sering tak naik kelas. Tingkah lakunya bandel, sehingga ibu tirinya mengirim ke Asrama Katolik Boro di Kulonprogo, Yogya. Selama tiga tahun dia diasuh oleh Pastor Harsosusanto dan Bruder Themoteus. Di sinilah ia kemudian dibaptis menjadi seorang Katolik. Setamat SD di Bruderan Boro, Kulonprogo, ia melanjutkan studi ke SMP Kanisius Salatiga.
Tahun 1956, lulus dari SMP Kanisius, ia pergi ke Semarang. Di Semarang, ia masuk SMA Protestan—yaitu SMA Masehi, tapi ia tetap Katolik. Beberapa bulan kemudian, ayahnya, yang telah menetap di Jakarta, menikah kembali. Ibu tirinya meninggal. Upacara pernikahan secara Islam ini mengetuk hatinya. Penghulu dan doa-doa yang dibaca membuat ia terkenang akan masa kecilnya. Sejak itu, Ki Pandjikusmin memutuskan kembali masuk Islam. Ia meninggalkan SMA Masehi Semarang, lalu akhirnya pindah ke Akademi Pelayaran Nasional. Selama enam tahun ia menjalani wajib dinas di Jakarta.
Setelah heboh cerpen Langit Makin Mendung, Ki Pandjikusmin ternyata masih mengirim naskah ke Horison. Pada 1970, ia mengirim cerpen berjudul Petasan dalam Sampah. Naskah itu tidak dimuat karena tidak lolos kriteria Taufik Ismail. “Kalau saya jadi redaktur Sastra, Langit Makin Mendung pun tidak saya loloskan. Itu cerpen jelek. Metafora Ki Pandjikusmin sangat sederhana dan kekanakan. Tuhan melayang di atas, memakai kacamata seperti orang tua. Imajinya begitu miskin,” tutur Taufiq kepada Dharmawan Sepriyossa dari TEMPO. Pada 20 Oktober 1971, sang pengarang misterius mengirim cerpen berjudul Dia Tidak Tidur. Yang ini dimuat di Horison edisi Desember 1972. Bila kita tilik alamat suratnya, kini ia berpindah lagi, yaitu Jalan Perhutani I Jalan Rajawali 40 Surabaya. Jadi, semenjak 1967, berdasarkan surat-surat lusuh itu, Ki Pandjikusmin tampaknya telah berpindah empat kali: Jakarta, Probolinggo, Singapura, dan Surabaya.
Selepas tahun 1972, kiriman karya-karyanya tak dapat ditemukan lagi pada arsip-arsip perpustakaan Jassin. Adakah kemampuan menulisnya punah? Bila demikian, berarti Ki Pandjikusmin hanya berhasil menulis segelintir cerita. “Dia tak terus-menerus menulis. Dia hanya meletup sekejap saja,” demikian komentar Taufiq Ismail. Ataukah ia memakai nama samaran lain? Sesungguhnya, seperti jawabannya kepada majalah Ekspres, kala itu tak ada niatan dalam dirinya untuk menjadikan dirinya misteri. Ia mengatakan, sebenarnya ia bersedia tampil saat itu. Tapi karena melihat Jassin sudah mengatasi sendiri, ia merasa tak pantas melangkahi orang tua.
Bila masih sehat, pengarang misterius itu kini umurnya sekitar 55 tahun. Adakah saat 40 hari peringatan meninggalnya Jassin kemarin di TIM dia diam-diam menyelinap di antara pengunjung? Atau, akankah dia datang pada acara “In Memoriam H.B. Jassin” yang akan diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, dan Fakultas Sastra UI bulan depan? Ataukah dia sudah betul-betul lepas dari dunia sastra—melupakan masa lalunya sehingga saat kematian Jassin pun ia tak menyempatkan diri menghormatinya?
24 April 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar