Minggu, 25 September 2011

Lawatan Budaya Menggugah Kekuatan Desa

Sabrank Suparno *
Perubahan Anda sudah disimpan

Berawal dari grenang-greneng antar seniman yang mengandaikan bagaimana caranya bisa mengekspresikan diri dalam satu forum dan tidak berbelit dengan urusan dana, lembaga dan atau instansi terkait, dari sanalah ide Lawatan Budaya muncul. Kemudian para seniman tersebut menyiasati daya untuk mewujutkan terlaksananya titik sentral ide tersebut. Sertamerta bagi yang ingin terlibat, pletikan kekuatan pun mulai terumus, bahwa tidak ada kata kunci yang jitu, kecuali membakar lemak jiwa dengan sistem‘rewang, soyo, gotongroyong, semua yang terlibat mengikhlaskan energi untuk urun mengisi agenda.
Berangkat dari gejolak kebebasan dan terlaksananya kemampuan berkesenian dimaksud, menandai awal ‘Komunitas Suket Indonesia’ terpanggil untuk terlibat. Namun keterlibatan ‘Suket’ dalam pelaksanaan ini hanyalah sebagai fasilitator yang mewadahi geliat para seniman. Jauh hari sebelumnya, seperti yang diungkapkan salah satu pentolan Suket: Mbah Catur (Kepala desa Mojowarno yang juga lulusan UMM tahun 1998) bersama istrinya Riris D. Nugrahini (lulusan IKIP Tuban 2001), “kalau teman-teman ingin menggebyarkan semangat berkesenian, dipersilahkan. Kami hanya bisa menyediakan tempat, yakni gedung Balai Desa, silahkan dipakai. Bagi yang jauh juga kami sediakan mess tidur. Soal hidangan, tur mergo kalian tamu, umpomo gak ono duwek yo tak utang-utangno, tapi gak iso mewah, sak onoke wae.” Berawal dari konsep semacam inilah munculnya gagasan Lawatan Budaya, yang informasinya kemudian disebar antar kawan seniman dengan jejaring facebook. Alhasil, siapa pun yang bersedia bergabung, artinya bukanlah sebagai fihak ter-undang, tapi berpartisipasi dengan uang saku sendiri yang disebut istilah rewang, gotongroyong di atas. Sama artinya bahwa siapa pun yang hadir, entah pada Lawatan Budaya yang sudah terlaksana atau pun yang akan datang, yang bersedia terlibat adalah sekaligus merangkap panitia, semua harus berkordinasi serempak, tanpa harus jagakno satu sama lain, atau dituankan.

Adapun gambaran secara gamblang proses terlaksananya Lawatan Budaya seperti yang diungkapkan Riris D. Nugrahini (Bu Lurah Mojowarno) di awal agenda Lawatan Budaya pada diskusi 23 Juni 2011, bahwa “Lawatan Budaya bermula dari niatan para seniman untuk melangsungkan ‘reuni plus’ menambah teman dengan jejaring baru.” Seperti yang sudah berlangsung, Lawatan Budaya teragenda dari tanggal 23-26 Juni 2011 lalu.

Repertoar tanggal 23 Juni 2011

Hadrah

Acara dibuka secara khitmat oleh penampilan seni Hadrah dari Ranting ISHARI desa Mojowarno. Pembukaan Hadrah molor hingga jam 20;00 dari jadwal semula jam 18:00. Hal ini dikarenakan Ranting ISHARI ini memiliki kegiatan rutin saban malam Jum’at untuk berhadrah di masjid seusai magrib (17:45-80:00) yang tidak bisa ditinggalkan. Namun sekali lagi, bahwa dalam rentetan Lawatan Budaya tidak menekankan teori praktis bardasar sketdjoule jadwal yang kemudian memaknai kegagalan jika terjadi kemelencengan dari planing terterap, tetapi lebih menekankan kesempatan, kemauan, serta kebersediaan tampil urun mengisi. Ketidaktepatan waktu bukanlah hal yang esensi, sepanjang satu fihak dengan fihak lain dalam waktu tunggu benar-benar masih berjuang bersama, berkesenian di tempat lain. Dengan demikian tidak ada kesan yang terbangun akibat kemoloran yang dianggap mencuri waktu orang lain.

Orasi Budaya

Seusai Hadrah, acara dilanjutkan dengan pemaparan konsep ‘Watak Nusantara Sebagai Negara Agraris’ oleh Pak Sunu Budiman selaku wakil warga desa Mojowarno. Dalam paparannya, Pak Sunu mengudal sejarah Majapahit yang khusus berkaitan dengan wilayah Mojowarno berdasarkan cerita turun-temurun dari nenek moyang setempat. Di antaranya bahwa sentra perekonomian Majapahit dahulu terletak di pelabuhan Canggu (sekarang wilayah sekitar pabrik Ciwi Mojokerto). Di Canggu ini dahulu serupa teluk yang menjorok dari sungai Brantas dan bermuara di selat Madura. Pusat pelabuhan Canggu tersebut sekarang ditandai dengan ‘Tugu atau Tonggak Gajah’. Dari Canggu inilah terkait erat dengan Mojowarno yang ditandai Candi Pangungak-an yang dalam bahasa masyarakat setempat berarti ‘ngenguk, nginceng, ndilok, memantau. Candi Pangungak-an berfungsi sebagai pengontrol, daya filterisasi berbagai transaksi dagang yang berlangsung di pelabuhan Canggu.

Pak Sunu juga menyingkap perihal ras asli warga Mojowarno berasal dari 3 wilayah, yakni Gunung Kendeng, Sidoarjo dan Yogyakarta. Khusus yang dari Jogja, adalah anak keturunan Pangeran Diponegoro yang lari ke wilayag timur saat geger makam leluhurnya yang hendak digusur Belanda yang mencanangkan pembangunan jalan Anyer-Situbondo.

Begitu pula ketika Pak Sunu memaknai buku ‘Negarakartagama karya Sota Soma dan Emputantular, kata Karta=aturan, Gama=senggama yang artinya menjalankan berkehidupan warga yang berhubungan erat dengan pertanian (sistem agraris).

Dalam buku Negarakartagama juga digambarkan pola budaya zaman Majapahit yang tertera semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Waha Wisesa’, yang diasumsikan sebagai kekuatan simbol kesederhanaan. Di mana kesederhanaan juga meliputi cara pribumi dalam mempertahankan tanah airnya dengan semboyan “Sak Dumuk Bathuk, Sak Nyari Bumi, dibelani sampek mati.”

Pak Sunu mengakhiri sambutannya dengan menyimpulkan contoh kongkrit keberadaan warga Mojowarno yang hingga kini belum terjadi kasus sengketa tanah antar warga. Ketidaksepahaman yang mengarah ke konflik warga, cukup diredam dengan rundingan antar sesepuh desa.

Monolog Andhika (Yogyakarta)

Meskipun anggota ISHARI kelar menampilkan tugasnya, tetapi mereka tidak langsung pulang. Anggota yang berjumlah sekitar 30 orang tersebut kemudian bergabung bersama para seniman untuk menyaksikan pementasan monolog sesi pertama yang diperankan oleh Andhika (Yogyakarta) dan sesi ke dua yang dibawakan oleh Galuh (Surabaya). Pementasan Andhika yang menyodorkan teater tubuh, gerak tanpa kata, tubuh yang berbicara, bagi warga desa terkesan rada aneh. Mereka membayangkan Andhika sama dengan pemain pencak silat jaman dulu yang hanya mengungkapkan ekspresi tubuh ketika menyelaraskan musik. Saya sempat bertanya kepada salah satu penonton, “apakah bapak mengerti apa yang dimaksud penari ini?” “Tidak,” jawabnya. Saya bertanya ulang, “tetapi apakah bapak percaya bahwa dibalik tariannya, sesungguhnya ada yang dimaksudkan tentang suatu hal?” “ Ya.”

Monolog Galuh (Surabaya)

Sesi kedua, panggung diisi pementasan monolog rekan Galuh (Surabaya) yang mengangkat tema kritik pengaruh globalisasi dengan judul ‘Kebun’. Naskah yamg diangkat Galuh bukanlah naskah berat, sebab masyarakat udik sudah akrab dengan cerita klasik ‘Kancil Nyolong Timun’. Namun, di sinilah kepiawaian Galuh sebagai seniman tertantang untuk menyuguhkan takhnik penceritaan berbeda dengan alur cerita umumnya. Galuh sebagai tukang cerita, berperan menjadi tiga aktor sekaligus, yakni Si Akulirik, Si Kancil dan Petani. Saat berperan sebagai tokoh Kancil, Galuh langsung berimprovisasi dengan salah satu penonton yang seketika didapuk sebagai Pak Tani yang memergoki ulah pencurian Kancil. Tokoh Pak Tani yang tanpa latihan proses teater terlebih dulu, spontan mampu ber-ekting geram dan berkacakpinggang di hadapan Kancil.

Konsep berkesenian Galuh yang demikian, seperti menjabarkan pertanyaan Arifin C Noer dalam opini pendeknya yang terangkum dalam buku Teater Tanpa Masa Silam (DKJ 2005). Berawal dari pertanyaan siapakah Aku, dalam kaitannya dengan Alam dan Karya, Arifin C Noer melesapkan Aku menjadi Kita. Kita harus senantiasa bocah dan alam menjadi teman sepermainan. Sehingga terjalin hubungan seumpama lelaki dan perempuan yang menghidupi kelengkapan alam anorganik, fisis-chemis, yang kimiawi, vegetatif, animal, human, supranatural dll. Lebih spesifik dari Arifin C Noer, Asrul Sani menyebutnya ‘keterlibatan seluruh civitas teater’ yang meliputi penonton, pewarta, bahkan EO sekali pun yang ia tulis sejak tahun 50-an dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.

Suspansi pementasan Kebun memasuki titik klimaks naskah yang diangkat Galuh. Yakni ketika ‘Kancil’ terlelap tidur dalam kurun sejarah yang teramat sangat lama, dan diperagakan Galuh dengan bersandar pada salah satu bahu penonton. Terkesan sekali, simbol dua subyek yang enjoi dalam (kesepakatan) keterlenaan. Hingga saat sejarah membangunkan ‘Kancil’ dengan perubahan menyeluruh yang tidak terduga, yakni suara gemuruh 2 motor vespa yang sejak sore dipasang asesoris panggung. Kancil pun tergeragap bangun. Ia kaget. Betapa keterlenaan sejenak, sejarah sudah berubah menjadi modernisasi deru mesin. Yang paling naïf bagi Kancil ialah betapa matanya kehilangan entitas kebun Pak Tani sebagai lahan curian timunnya, telah berubah menjadi gedung pabrik, mall, reil estate. Namun keberhasilan Galuh masih ditentukan di akhir pementasan, yakni ketika Galuh merayu-sentuh hati penonton untuk diajak menyaksikan gubuk dan patung yang berjarak 100 meter dari ruang pementasan. Gubuk yang dibangun oleh Sanggare Cah-Cah Tuban, mengingatkan betapa penting dan mahal karya petani meski pun berupa gubuk di tengah sawah, patung bikinan untuk menggusak manuk, atau sekedar umbul-umbul klaras bahkan kain warna warni sebagai pertanda padi (mbok Sri) hamil dan tingkepan (tradisi tileman). Kesadaran hal ini sengaja ditohokkan oleh Galuh dan Sanggare Cah Cah Tuban, bahwa komunitas petani dengan segala kecerdikannya menyiasati hasil panen lebih baik dengan sistim kerja nyaman. Sedang pada sisi lain, Galuh mengungkit ke tumpangtindihan budaya kota yang masih merindukan suasana desa, sementara di sisi lain, petani mulai meninggalkan kebudayaan desa dan merindukan suasana kota. Berbeda dengan ‘viuw rich farmer’ di Bali misalnya yang kalau kita amati pada 5 tahun terakhir mulai digarap ‘aspal setapak di tengah sawah’ untuk para turis yang ingin menikmati keindahan persawahan.

Repertoar tanggal 24 Juni 2011

Shering bersama Agung PW

Seri Lawatan Budaya pada 24 Juni 2011, menghadirkan Agung PW yang membahas seputar tema‘Heritage’. Ada wacana tak terduga dari pemaparan Agung PW, yakni penelusuran mengenai struktur wajah kebudayaan klasik hingga berbagai perubahan yang terakibat oleh perkembangan kebudayaan itu sendiri. Khusus wilayah Mojowarno misalnya, Agung menilai perubahan struktur artistik bangunan masjid, gereja dan beberapa model bangunan telah berganti still dari eksteroir lama. Begitu juga bidang pertanian, sistem kapitalisasi pertanian, sertamerta merubah pola pengolahan tanah, pupuk, pengairan dsb yang cenderung bersifat individualis (baca makalah Agung yang berjudul: Untuk Siapa Heritage Indonesia? Di http://dawetnesia.blogspot.com). Seperti diperkenalkan Abdul Malik dari komunitas Banyumili Mojokerto, bahwa sosok Agung PW, adalah seniman lokal Mojowarno yang luput dari jaringan seniman Jombang, padahal kiprah kesenimanannya berbasis STIBA Malang jurusan Inggris-Prancis angkatan tahun 87. Maka, menjadi berbobot jika kajian Heritage kemudian didasarkan atas perbandingannya selama ke Jepang (2008) dalam program Shimane-Indonesia Exchange of Traditional Arts.

Orasi Puisi Bersama 17 Penyair

Serentetan Lawatan Budaya tanggal 24 malam digebyarkan oleh gemuruh 17 penyair dari berbagai kabupaten. Acara yang rencana dimulai pukul 18:00 mundur hingga 20:00 WIB. Penyebab molornya ialah keterlambatan Gamelan Musik S’ketika yang jauh sebelumnya bersedia mengiringi kerempekan selama pembacaan puisi. Namun keterlambatan musik S’ketika tidaklah berarti jika dibanding kesediaannya turut mengisi acara, sebab semua menyadari bahwa awak musisi S’ketika baru pulang dari misinya mengikuti lomba di Probolinggo. Lebih tidak sebanding lagi jika ditilik dari perjuangan musik S’ketika yang di beberapa event kesenian di Jombang, tulus menyumbang memeriahkan. Dari liputan Tim Lincak Sastra misalnya, sempat menemui pemanggungan S’ketika yang kian ‘oke’(rancak) bergaya ‘ngiyaikanjeng’, namun lebih spesifik ke musikalisasi puisi. Tidak hanya di lawatan Budaya saja Sketia tampil, pada 10 April 2011, musisi ini mengiringi kehadiran Afrizal Malna dan Titarubi di Gedung Bung Tomo Pemkab Jombang. Tanggal 14 dan 28 Mei, S’ketika juga tampil secara sukarela di agenda rutinan Angkringan Seni di Dinsosnaker Jombang. Dan masih banyak lagi perjuangan musisi S’ketika di berbagai tempat, berbagai event, berbagai komunitas Jombang dan luar Jombang.

Sayup irama musik S’ketika mulai melantun dengan salam pembuka, khas musikalisasi puisi. Satu-dua tembang yang sekaligus menghantarkan MC (Yosi Ari Wijayanti dari Universitas Nusantara PGRI Kediri angkatan 2010) membaca larik-larik puisi Lawatan Budaya. Bait puisi yang sengaja diformat ‘Jejer-an” untuk mengikat ruang, memfokuskan kesadaran bahwa yang sedang berlangsung adalah pemaknaan sejarah dengan sastra. Cuplikan puisi Lawatan Budaya yang dilantunkan Yosi adalah:

Agenda Sastra pada serangkaian acara Lawatan Budaya di Balai Desa Mojowarno tanggal 24 Juni 2011)

(detik-detik penghantar Lawatan Budaya: diiringi instrument dengan lirik kalem oleh Musik S’ketika)

marilah mengunjungi bumi
di sana, milyatan manusia bersemayam
besama para Nabi terkasih
uluran tangan cintanya mengusap kerisauan, membelai ketenteraman
malayang sebulir padi. dengan sinar ke-emasan, jatuh dari angkasa
tepat, di dekat kutub selatan dan katulistiwa
terbentang berserakan indonesiaraya
kepulauan yang bergandeng-gandeng mesrah
sebuah negeri hijau ranau pantulan surga
kala pagi menyingsing. surya merangkak mendaki bebukitan
sinarnya semburat menerpa dedauanan
ceracau burung perenjak berkicau riang sambil bertelantingan di antara ranting dan dahan
sapi dan kerbau berdengau
panas mencandai hijau lembir klorofil
‘clak’, cangkul petani menyapa sawah
liuk pucuk padi, mekar mayang dan kembang tebu
kala malam menjelang
matahari beranjak pulang
cakrawala senja mengusap merah menjadi jingga
perlahan remang dan gelap mendekap hari
keriuk srengai sayap belalang, kerik jangkrik, denging anai dan keret bajang
menyambut tapak kaki perantau, menimang tubuh pejalan jauh, memijit lelah membuai manja.
selamat datang kembara jiwa. para perekam gravitasi sejarah.
inilah selonjor negeri memanjang bagai sajadah
dari langit ujung timurnya menyerupai peta yang dibawa rasul dari sidratul muntaha
peta takhiyat. kaki kiri bertekuk menjadi semenanjung Blambangan, Ketapang, sepanjang pantai Sritanjung. sedang kaki kiri berselonjor menjadi Madura. Jawa Timur, peta kebangkitan jaman.
sebuah negeri, dengan 10 gunung menjulang.
sebuah negeri, aliran sungai Brantas memanjang
sebuah negeri, bermekaran warna-warni, warno-warno, ijo-abang, Mojowarno-Jombang.

(Dilanjut dengan ucapan selamat datang kepada para tamu yang hadir)

Susunan acara sastra pada Lawatan Budaya tanggal 24 Juni 2011

Iringan Musik S’ketika:
-Mahendra PW……(Jombang)
-Ahmat Fatoni…….(Mojokerto)
-Toni Saputra…… (Trenggalek)
-Kukun Triyoga……(Mojokerto)
-Yoyok SP……….. (Nganjuk)
-Iwan Kapit………..(Kediri)
-Sabrank Suparno (Jombang)

Iringan musik S’ketika:
-Jabbar Abdullah……(Mojokerto)
-Juwaini………………(Kediri)
-Ratna Kumala……….(Nganjuk)
-M. Ali……………….(Gersik)
-Chairul Anwar………(Malang)
-Glewo Anam…………(Mojokerto)
-Titin Darma Ayu……..(Tuban)

Iringan musik S’ketika:
-Mbah Rego …………(Nganjuk)
-Abdul Malik………….(Mojokerto)
-Lek Mujib…………….(Jombang)
-Saiful Bahcri ………….(Mojokerto)
-Kotak Hitam……………(Lamongan)

Instrument musik S’ketika yang piawai dalam lekak-lekuk perpuisian, terus mengiringi setiap pembacaan berlangsung. Sebuah usaha memaksimalkan bunyi pendukung kekuatan penyampaian karakter puisi.

Mahendra PW yang didapuk sebagai pembaca pertama, durasinya terhambat oleh ‘byar-pet’jegleknya listrik yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Bahwa penambahan watt yang diserap banyaknya gamelan musik S’ketika, sertamerta mengurangi daya kekuatan listrik dalam gedung tersebut. Namun demikianlah refleksi yang terjadi, suasana gelagapan dadakan seperti turut memaknai bahwa sejatinya puisi terekam dari siang-malam, gelap-terang, kalut-nyaman. Keadaan demikian tidak menjadikan Mahendra PW kehilangan performa. Ia tetap memanfaatkan improvisasi dengan penonton walau dalam kondisi ruangan gelap. Menggali kekuatan suara. Tanpa lampu. Tanpa pemandangan.

Akhmad Fatoni, penyair berbakat dari Mojokerto tampil mengesankan dengan tiga judul puisinya: tentang kau yang ingin pulang, tentang penyair, dan cerita seorang petualang. Dengan matanya yang tajam, Akhmad Fatoni mulai berani menghidupkan pembacaannya. Tidak jauh dengan Akhmad Fatoni, rekan Iwan Kapit menggali ke PeDe annya dengan berpenampilan ala Taufik Ismail yang khas dengan topi baretnya. Kegenitan Iwan Kapit, saat ia mengekspresikan puisi binalnya yang membincang soal wanita simpanan. Iwan Kapit bersuit bagai barisan kigolog yang menunggu antrian tante-tante nakal di jembatan Delta Plasa Surabaya.

Banyak teori pembacaan puisi yang diperagakan oleh para penyair dalam serangkaian cara Lawatan Budaya. Jabbar Abdullah menyerupai sastrawan China-Taiwan yang berorasi sekedar membaca biasa, namun isi kedalaman puisi itu sendiri yang paling menentukan bobot. Demikian juga Glewo Anam, ia tampil khas dengan rambut panjangnya yang diikat. Sementara Abdul Malik berdandan dan bergaya Sipitung atau para peronda desa dengan sarung di leher dan memakai kopyah hitam.

Kekuatan orasi puisi Yoyok SP justru pada semangatnya yang menggebu di belantika perpuisisan. Didukung usianya yang cukup wareg dalam mengenyam asinnya garam, Yoyok SP merapal puisi puisi sumblim karyanya. Begitu juga Rego Ilalang, tak sekedar bait puisinya yang hidup ketika dibaca, namun ekspresi wajahnya ketika menghantarkan kalimat, merupakan catatan tersendiri bagi seorang Rego, ekspresi yang puitif.

Penampilan nyleneh justru diperankan Tosa Poetra, penyair yang bermukim di kaki bukit Jaran Dawuk Trenggalek. Sebagaimana Rego Ilalang, Toni Poetra berpenampilan atribut khas Jawa kulonan, yakni memakai udeng. Namun Tosa Poetra mirip dengan penampilan Sosiawan Leak yang ketika membaca puisi, merubah dirinya dulu menjadi babi. Tosa Poetra merubah dirinya menjadi Jaran Dawuk atau Kuda Putih. Ia mondar-mandir menguasai panggung dengan aksesoris krincingan. Ulahnya pun liar bagai kuda lepas kendali. Demikianlah Tosa Poetra dengan khas Jaran Dawuk sebagai inspirasi kekuatan lokalnya.

Cak Juwaini dan Choeroel Anwar, ke duanya bagai Nakula-Sadewa bila bertemu dalam satu panggung. Wajah, rambut, usia dan perawakan, ke duanya menyerupai Rendra si Burung Merak. Cak Ju dengan karakter panggung yang gelenggem namun menggema, sementara Choeroel Anwar menambah ulah performennya dengan membaca puisi sambil berdiri di atas meja yang kebetulan tersedia sebagai properti panggung.

Agenda yang terhapus dialami penyair Kukun Triyoga. Ketidakhadiran Kukun tersebab berbarengan dengan 7 hari meninggalnya orang tua penyair ini. Sehingga, selaku MC, Yosi Ari Wijayanti merefleksi ketidakhadiran Kukun dengan mengajak seluruh hadirin untuk membacakan do’a yang dikhususkan pada almarhum orang tua Kukun Triyoga. Namun ketidakhadiran Kukun, tidak mengurangi jumlah pembaca puisi, sebab seketika tergantikan oleh hadirnya penyair wanita asal Nganjuk, Ratna Kumala. Meski belum terdaftar sebelumnya, Ratna Kumala tidak mampu membendung demam panggungnya sebagai penyair. Ia segera menghubungi panitia untuk turut membaca puisi walaupun suaminya harus rela menggendong anaknya yang sedang menangis ketika Ratna membaca puisi. Shound pun menggelegar berkat suara sopram Ratna. Saya, sempat bertanya kepada suami Ratna, “apakah Mas, sering menyaksikan sang istri membaca puisi?” “Ya, saya selalu menghantarkan dia, itu hobinya.” Saya pun mencandai anaknya Ratna dengan mengatakan, “lihat itu! Mamamu sedang membaca puisi. Kau harus lebih hebat daripada Mamamu!”

Dari kawasan timur wilayah Gerbang Kertasusila juga hadir penyair wanita Titin Ilfam Mulib (Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Widya Darma Surabaya Angkatan 2009). Gadis kelahiran asli Tuban ini membacakan dua puisinya yang berjudul: Kemunafikan Fana // Menggerus Lokalitas. Sebagaimana Titin, M. Ali dari Gersik juga berpenampilan lugu, namun dibalik kepolosan sikapnya, tak dinyana kedua penyair kawasan timur ini memiliki kekuatan jiwa kepenyairan yang handal. Sedang saya sendiri yang jauh hari sebelumnya mendaftar baca puisi, sempat membaca puisi panjang yang berjudul: Ujaran-Ujaran Ambradoz. Itu saja. Sementara Muhammad Mujiburrohman (Lek Mujib) membacakan puisinya yang berjudul: Cuci Otak. Dengan khas suara bass, Lek Mujib menggedor-gedor kritikan tajam tentang berbagai ketimbangan kebudayaan dan cara berfikir. Gaya pembacaan puisi Lek Mujib di Lawatan Budaya, tidak jauh beda ketika satu panggung dengan D.Zawawi Imron, Sosiawan Leak, serta Max Arifin (alm) di Undar dalam acara Gebyar Malam 1001 Puisi sekitar tahun 2000-an.

Refleksi Puisi bersama Kris Budiman (Yogyakarta)

Serampung seluruh prosesi pembacaan puisi, agenda tanggal 24 Juni malam, ditutup dengan diskusi puisi yang dipandu Kris Budiman (Sosiolog Sastra dari Yogyakarta). Sebagaimana peserta yang lain, Kris Budiman juga rewang untuk menghadiri Lawatan Budaya. Sebuah keterlibatan yang petut diacungi jempol, lantaran kebesaran namanya di dunia sastra, tidak lantas mengkederkan diri untuk terlibat membina generasi penerus sastra. Keterlibatan Kris semacam ini, merupakan konsekuensi tersendiri sebagai profesionalis di bidangnya.

Dalam menyikapi budaya pembacaan puisi panggung, Kris Budiman berpendapat bahwa di Indonesia khususnya, puisi panggung merupakan ciri khas tersendiri, di mana puisi dipresentasikan dengan memadukan tekhnik berteater. Yakni usaha pendiskriftifan makna puisi dengan mengeksplorasi berbagai bentuk personifikasi. Puisi tidak sebatas ditulis dan dibaca. Memasuki wilayah kesempurnaan maknanya diperlukan berbagai cara untuk menghadirkan puisi secara utuh. Di sinilah pentingnya pemanggungan puisi, di mana pendekatan berbagai unsur: analitik, parafrase, emotif, ekspresif, histories, sosiologis, mimesis dll lebih mengena. Kris juga menyinggung secara khusus pendekatan puisi berdasarkan filologis. Adanya perbedaan morfologis pada setiap bangsa yang berkenaan dengan bahasa lokal. Orang-orang Inggris asli cukup berbicara dengan gerakan dagu. Berbeda dengan Orang Indonesia yang berbicara bahasa Inggris dengan mengandalkan bibir yang kemudian terkesan besosol (moncong).

Menyoal demam puisi pendek yang lagi digemari di Indonesia, Kris Budiman mengatakan sebagai gejala adopsi dari bentuk puisi Heiku Jepang. Di samping itu ada gejala kreatifitas lain seperti yang dilakukan Gunawan Maryanto yang sedang menggarap puisi berpolah tembang macapat Jawa, dengan ciri memperhitungkan jumlah ketukan, suku kata, sajak serta rimanya.

Repertoar Tanggal 25 Juni 2011

Diskusi bersama Joko Bibit Santoso (Teater Ruang Solo)

Makalah dengan tajuk “ Fakta Teater Yang Selalu Dipungkiri Secara Sosial” ditulis khusus oleh Joko Bibit Santoso untuk agenda Lawatan Budaya pada 25 Juni. Joko Bibit menuangkan catatan ringan yang terjadi pada kurun 1999 hingga 2005 berkenaan dengan fakta teater yang dilakoninya. Seorang pemuda kampung menanyakan hal sepeleh sebelum masuk anggota Teater Ruang. Apakah berteater bisa menjamin masadepan saya? Beberapa bulan kemudian (Fakta tahun 2000), pemuda tersebut dikirim Joko Bibit ke workshop kelompok teater terkenal dari Perancis. Alkhasil, ia terpilih menjadi aktor dalam karya terbaru mereka. Selanjutnya sebagai langkah pembekalan ia dikursuskan bahasa Inggris dan Perancis. Dalam kontrak 1 tahun pentas keliling dunia: Eropa, Amerika, Australia, Afrika, gaji pemuda tersebut 10 kalilipat gaji Walikota yang waktu itu sekitar 2 juta/bulan. Setelah keberhasilannya, si pemuda membelikan televise 1 inci untuk orangtuanya, 1 sepeda motor untuk adiknya, 2 mobil dan rumah elit di Solo Baru, memberi teman-teman di Teater Ruang masing-masing Rp.250 ribu, sedang untuk Teater Ruang sendiri senilai 1 juta. Namun ditolak oleh Joko Bibit dengan alasan sederhana: Bukan lantaran uang seseorang menjadi anggota Teater Ruang, bukan lantaran uang pula anggota dipersaudarakan. Namun karena teater mempertemukan anggota sebagai satu saudara.

Lebih jauh sesungguhnya yang diinginkan Joko Bibit terhadap pemuda tersebut adalah melebarkan wacana teater ke masyarakat. Bagaimana menerjemahkan konsep kebersamaan berteater memberi kontribusi-fungsi di luar kelompok teater itu sendiri. Joko Bibit menyarankan agar uang yang diberikan ke anggota Teater Ruang, dialihkan untuk membangun WC umum tempat dia dan keluarganya buang hajat. Dari beberapa kamar WC yang ia bangun, diperuntukkan khusus dia dan keluarganya, pasti diijinkan warga.

Pemungkiran terhadap fakta teater kian kentara pada sikap pemuda kampung tersebut setelah sukses. Ia benar-benar lepas dari kebersamaan. Diceritakan Joko Bibit, saat kelompok Teater Ruang membangun gedung ‘Kenthot Roejito’secara bergotong-royong, pemuda itu tidak membantu dan hanya mampir menitipkan atau menganbil barang saja. Akhirnya si pemuda dikeluarkan dari keanggotaan Teater Ruang. Setelah kontrak kerjanya habis dengan kelompok teater Perancis, perekonomian pemuda tersebut pun ambruk. Mobil, rumah, dan segala kemewahannya ludes terjual. Ia kembali bersama keluarganya menempati rumah kontrakan dengan atri WC umum seperti semula.

Fakta teater yang diceritakan Joko Bibit di atas, pada akhirnya dialegorikan pada fakta teater yang dialami Joko Bibit sendiri belum lama saat tulisan ini diturunkan. Dengan tulus berteater, Joko Bibit mengalami keajaiban tak terduga pada keluarganya. Saat anaknya masuk Fakultas Kedokteran UNS, uang regristasi senilai 7 juta tiba-tiba dibayar seseorang yang senang anak Joko Bibit masuk di Kedokteran. Tidak hanya itu, buku-buku mahal pun dibantu gratis oleh dosennya. Uang gedung senilai 10 juta dibebaskan. Dan masih mendapat beasiswa tiap semesternya senilai 5 juta dengan rincian 2 juta untuk membayar SPP, 3 juta untuk uang saku. Ditambah lagi uang regristasi senilai 7 juta yang sudah dibayar, dikembalikan pihak kampus dan akhirnya dibelikan motor untuk transportasi kuliah.

Lain makalah yang ditulis Joko Bibit, lain pula kegayengan saat berdiskusi. Menyikap iklim perteateran di Jombang yang hanya berproses ketika menghadiri event, terutama itu dijadikan konsep dasar teater pelajar, Joko Bibit mengkritik tajam. Berkesenian yang bertumpu pada event-EO, hanyalah berujung pembangunan nama besar bagi dirinya. Kebudayaan EO berakibat mematikan kreativitas kesenian yang pasti mandul jika tidak dikucur dana, dan cara berkesenian yang bertendensi materiel lebih baik membubarkan diri.

Kedatangan Joko Bibit bersama 2 pasukannya yang tergabung dalam Komunitas Tanggul Budaya (Solo), menyelingi diskusi dengan beberapa nomor puisi dan diiringi musik Siter. Bobot keilmuan berteater Joko Bibit pun tidak dilewatkan para seniman Jombang untuk Hadir. Tampak Ketua Dewan Kesenian Jombang (Agus Riadi), Inswiardi, Anjrah Lelono Broto, Farid Dulkamdi, A. Nugroho, Bambang Bei Irawan dll. Anjrah sependapat dengan konsep berteater Joko Bibit, bahwa jikalau seniman berani menentang arus, suatu saat arus akan mengikuti seniman penentang.

Seusai acara, Joko Bibit dkk megunjungi beberapa situs sejarah Majapahit bersama Riris selaku tuan rumah, dengan perhitungan senyawang berada di sekitar pusat Majapahit.

Monolog Herwasis W. Putro (Teater Laskar-Tuban)

Tema apa yang hendak diperankan Herwasis? Saat panggung terbuka, penonton disuguhi lantai penuh jerami serta properti kursi menggantung. Sebagai petani, orang desa, sang tokoh tidak hanya kehilangan lahan persawahan yang merupakan entitas seni tersendiri dalam hidupnya, melainkan kehilangan loyalitas generasi penerus bangsa yang kian tidak memahami budaya negeri sendiri. Naskah yang didaur seimbang antara realis dan surealis itu masih dipahami penonton ketika memparafrasekan kelangenan masa kecilnya yang hampir seluruh anak bangsa mengingatnya. Lantunan lagu kebangsaan, “Garuda Pancasila / akulah pendukungmu / patriot proklamasi / setia berkorban untukmu,” sayup sayup menyeret kenangan ke dalam relung masa kanak-kanak di bangku sekolah dasar. Dengan koor lagu Garuda Pancasila memletikkan semangat menyala dalam jiwa yang membubungkan harapan setiap anak, agar negaranya kelak gagah perkasa seperti Garuda sang Rajawali.

Realitas masa kecil yang kemudian dihadapkan pada ketimpangan masa kini, mengilhami Herwasis dalam menggarap monolognya. Semestinya kebesaran Indonesia di masanya, masa yang diidam-idamkan sejak kecil tidak pernah terwujut menjadi sosok Garuda pujaan, lantaran tapuk pemerintahan dipegang pemimpin berkarakter emprit dan cipret. Atau keputusasaan menjadi Garuda undil yang sayapnya tidak bisa mengepak lebar, lantang berkoar, terbang jauh melintasi benua dan pulau, serta daya akomodasi cupet terhadap mangsa jarahan. Sementra di sisi lain, militansi logosentrik yang kadung mengental di badan sejak kecil, sulit untuk dirubah. Yakni kesadaran bahwa perangkat organ Garuda sesungguhnya simbol yang lemah sebagai karakter suatu bangsa. Bukan sosok Garudanya, melainkan jumlah 17 sayap, 8 ekor, 45 bulu tidak memadai keperkasaan terbang sang Garuda ketika terbebani 5 perisai yang begitu besar. Di sinilah kelemahan burung Garuda idaman, tidak kuat terbang dan cenderung mengurung dalam sangkar dan hanya mematuk makanan yang tersedia di hadapannya.

Jika menilik ulang sejarah jumlah organ Garuda yang dipahami berhubungan erat dengan hari kemedekaan Indonesia, yakni 17-8-1945, sesungguhnya tidak lepas dari pengeboman Herosima dan Nagasaki Jepang oleh pasukan Sekutu pada 14-8-1945. Setelah 3 hari masa vocum, barulah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Padahal bisa dibayangkan jika Herosima dan Nagasaki dibom tanggal 31 Januari. Nah, jika logosentris dihubungkan dengan hari kemerdekaan, betapa Garuda sebagai lambang negara adalah burung bersayap berindil.

Monolog ‘Nyanyian Angsa’ oleh Arif (Teater Swara Malang)

Sejak awal panggung disetting satu bentuk untuk beberapa kali penampilan. Panitia menyarankan bila terjadi pergantian konsep tata ruang atau properti, pemeran dimohon berkordinasi dengan rekan yang tampil lebih awal, sehingga memudahkan proses penataan ruang kembali tanpa merubah total.

Menyambung penampilan Herwasis, Arif menggarap ‘Nyanyian Angsa’ naskah karya Chekhov. Setting tokoh sengaja dikondisikan dengan kebudayaan aslinya, sehingga tampaklah Arif seperti bule Chekoslovakia masuk desa. Naskah yang mengisahkan pentingnya penghargaan kasih sayang kepada seorang gelandangan sekali pun.

Kemiripan cerita yang sama pernah digarap Yenusa Nugroho dalam cerpennya Kalung Kolang Kaling (Jawa Pos..2010). Tentang betapa sunyi jiwa seorang tokoh panggung terkenal kala pertunjukan usai. Yel yel riuh tepuk tangan penonton tidak terdengar sebagaimana di atas penggung beberapa jam sebelumnya. Sang tokoh tidak memerankan ketokohannya, dan kembali memerankan diri-sendiri di balik layar, di gedung yang semua orang sudah bubar, bahkan tinggal dirinya sendiri. Apalagi bagai jatuh tertimpa tangga, akibat kecapekan berakting, sang tokoh nyaris tertidur dalam gedung pertunjukan yang terkunci. Apalah arti kekondangan, hanya dieluhkan sebatas profesionalitas belaka, dan bukan sebagai manusia yang membutuhkan kelengkapan kasih-sayang perangkat rohaniyah. Sendirian dalam gedung gelap, betapa sunyi yang menghiris, menyayat, mencabik sanubari. “Yegorka..! Pedruska..!” Demikianlah sang tokoh kesunyian jiwa Svetlovidof (Badut tua) memanggil dua penjaga gedung pertunjukan yang menguncinya. Naïf bagi Svetlovidof, ia hanya menemukan Nikituska (Ivanits) seorang kawan akting pemeren pembantu yang pasti menjadi teman setia satu-satunya dalam gedung tersebut. Alkhasil, ditemukanlah Nikituska tertidur dalam almari. Keduanya lalu bergurau, mamahami arti ketenaran yang pincang dan lucu jika dihadapkan pada dua realitas, yakni panggung dan kehidupan nasibnya. Dalam gedung kosong tersebut, mereka berdua memerankan diri mereka sebagai manusia yang menggali penghargaan kasih-sayang antar sesama.

Dalam diskusi setelah pementasan Herwasis dan Arif selesai, barulah kedua pemeran mendapat apreseasi serta beberapa kritikan dari penonton. Juwaini (Cak Ju) penyair Kediri yang sempat bermalam beberapa hari di Lawatan Budaya, mengkritik penampilan Arif dengan monolog ‘Nyanyian Angsa-nya’, terlalu sembrono dengan properti cagak mikorofon, betapa properti yang tidak berhubungan dengan pementasan, sangat mengganggu pemandangan, apalagi juru kamera.

Repertoar 25 Juni 2011

Workshop Mendongeng oleh Rumah Baca Kol. Sampoerno, Mojokerto

Rentetan Lawatan Budaya Mojowarno juga tak luput dari bidikan seniman yang memperhatikan pembentukan, perkembangan jiwa anak-anak. Metode cerita atau mendongeng dinilai media paling efektif untuk menancapkan patok nilai moral sejak file jiwa anak masih putih dini. Selaras dengan sistem nourologi, di mana otak mampu memutar ulang memori hingga 60 ribu kali setiap harinya, dongeng atau cerita yang baik, syarat dengan pembentukan karakter nilai moral, dimungkinkan rekaman yang merasuk saat anak dini, akan diputar ulang saat anak dewasa dan memegang tampuk pimpinan sejarah akan datang.

Atas dasar itulah Komunitas Rumah Baca Kol. Sampoerno Mojokerto merasa penting berkesenian dengan melibatkan anak-anak. Gagasan ini juga menyadarkan para pendidik dan orang tua, bagaimana seharusnya mempengaruhi pendidikan anak dengan pola harmonisasi keluarga, anak, dan pendidik. Yaitu bagaimana masing masing berperan aktif dalam porsinya, orang tua berteater keseharian sebagai orang tua, pendidik sebagai guru, dan anak berperan sebagai anak. Contoh semisal pada sistem pengajaran anak yatim-piatu se-Indonesia, para pendidik mengajarkan anak berwajah melas, memperihatinkan, nelangsa ketika mereka berhadapan dengan para donatur. Pembentukan karakter demikian terhadap anak didik, sangatlah keliru, sabab hanya membangun mental anak berpangku tangan pada belas kasihan atas perubahan nasibnya. Bukan sebaliknya, bermental tangguh yang tidak akan mengharap pada siapapun atas perubahan diri mereka, kecuali meng-asah kelebihan yang bernilai pada diri sebagai mengambilan hak atas dedikasinya. Tidak serakah mengambil hak orang lain, kecuali mengambil hak kelebihannya.

Pantomim dan Puisi Anak Autis

Perhatian terhadap kepedulian anak, hingga me-nyektor ke anak autis yang oleh masyarakat dan kawan sepermainan acapkali termarginalkan. Kekurangsempurnaan takdir yang diterima sebagai manusia normal, membuat anak autis harus berjuang ekstra dalam menyelesaikan tujuan hidup layaknya standarisasi manusia wajar.

Pantomim yang diperankan anak autis, menceritakan rutinitas anak sekolah (desa), bagaimana ia mengawali keseharian sejak berangkat ke sekolah, mandi, naik sepeda sampai di rumahnya, membantu ayahnya mencangkul.

Melalui wahana seni, dalam hal ini teater dan sastra, Lawatan Budaya juga mengapreseasi kemahiran anak autis yang sebelumya terbina ber-pantomim dan puisi. Rasa percayadiri anak autist ini sengaja digali dan dibangkitkan oleh asuhan Hadi Sutarno bersama istrinya (Fitriyah) yang memang sejak lulus Fakultas Psikologi Undar Jombang, mereka bergiat khusus dalam bimbingan anak autis seputar Jombang.

Anak autis ini membaca puisi ‘Aku-nya Chairil Anwar. Namun bagi Hadi Sutarno dan Fitriyah, membutuhkan waktu 3 bulan untuk melatih, baik puisi atau pantomim.

Kentrungan Bersama Sarkadek Lamongan

Seni kentrungan yang dibawa Sarkadek dari Lamongan, merupakan kentrungan khas Lamongan yang menceritakan babat perjalanan para wali. Sebagaimana diketahui, 5 dari 9 wali bermakam dan mukim di Jawa Timur pesisir utara (Gersik, Lamongan).

Gebyar (Semi) Wayang Kulit Bersama Manunggal Laras Bareng-Jombang

Jiwa kesenimanan dalang muda, Heru asal Bareng, yang kini menjabat sebagai KASI Kebudayaan Disporabudpar Jombang, terpanggil untuk rewang mengisi pertunjukan wayang kulit. Kesenian tradisional Jawa yang paling tua itu, merasa perlu diperkenalkan secara mengena ke benak generasi muda yang kian berpaling pada kesenian modern sejalan merebaknya era-facebooker, hp, dan google. Di sinilah dalang Heru memaparkan perihal mendasar dalam pertunjukan wayang kulit. Yakni menyangkut tatanan wayang berjajar memanjang pada lanskap (kleber putih) yang sekaligus sebagai medium pementasan.

Susunan wayang berawal di titik tengah, tempat dalang menggebyakkan lakon cerita. Di tengah inilah tempat Kelir atau Gunungan sebagai membuka sekaligus menutup lakon. Pada kelir bergambar hutan dan singa, simbol suatu adegan sedang memaparkan kondisi wilayah hutan belantara. Sedang kelir bergambar keraton, menunjukkan bahwa lakon mengetengahkan kondisi (sedang) kerajaan, atau negara. Dari kelir menuju pinggir (yang paling jauh dari dalang), tatanan wayang disebut ‘Sumpingan’, yang artinya tatanan menyerupai bentuk kuping, dari lingkaran kecil pusat selaput gendang, kemudian melingkar lebar di tepi. Disebut sumpingan, juga karena bersifat seperti rumah siput. Dalam tradisi wayang Jawa Timuran, istilah sumpingan biasa disebut ‘Sampiran’, yang artinya dari jajaran wayang pada kleber, terdapat satu wayang yang disampirkan. Pada bagian kanan dalang, wayang yang disampirkan di pundak wayang berjajar lainnya adalah tokoh Betoro Guru, sedangkan pada bagian kiri, wayang yang disampirkan adalah tokoh Betari Durgo.

Dalam kesempatan Lawatan Budaya lalu, dalang muda Heru mementaskan lakon ‘Ilange Jimat Kalimosodo’ yang dalam wayang Jawa Timuran dikenal dengan lakon ‘mBangun Candi Sapto Wargo. Lakon yang padat dengan simbolik dan reflektif dengan berbagai alur perubahan tampuk kebudayaan pemerintahan Indonesia.

Ilange Jamus (Jimat) Kalimosodo membeberkan cerita keteledoran pembesar Astina yang kurang peka dalam menyerahkan penentu kebijaksanaan negara, yakni tidak menyeleksi secara tepat perihal: Siapa? Atas nama apa? Kepentingan apa? Akibatnya, kewibawan negara Astina runtuh karena seluruh gudang persenjataan terkuras habis dicuri lawan oposisi sayap kiri yang dipimpin Ratu Bumiloka. Dalam menjalankan aksinya, Bumiloka didukung Adik perempuannya Mustokoweni. Dalam lakon ini, Mustokoweni berperan aktif dengan ilmu kadigdayaannya yang mampu merubah diri, menjelma menjadi siapapun yang dikehendaki. Dengan ilmu mancoloputro-mancoloputri, Mustokoweni tidak kesulitan merebut Jimat Kalimosodo dari tangan para punggawa Astina. Ketika pusaka dipegang Arjuna, Mustokoweni menjelma diri menjadi Kresna yang berpura membutuhkan jimat tersebut. Tanpa syakwasangka, Arjuna pun memberikan Jimat Kalimasada begitu saja. Begitu juga ketika Jimat di tangan Kresna, Mustokoweni merubah diri menjadi orang terdekat Kresna. Namun kekalutan perihal hilangnya Jamus Kalimosodo oleh ulah Mustokoweni diketahui Semar. Dengan gampang Semar turun tangan menyelesaikan kekalutan Astina, sebab Semar yang memahami data sejarah Mustokoweni, mengetahui kalau Mustokoweni mempunyai pria idaman yang digadang menjadi pendamping hidupnya, yakni Bambang Priambodo. Semar pun merubah diri menjadi lelaki imajiner, kekasih bayangan Mostokoweni, yakni Bambang Priambodo. Semar memahami betul bahwa konsep umumnya manusia ialah apapun yang ia punya, akan jemrintil jika berhadapan dengan kekuatan cinta.

Lakon ‘Ilange Jamus Kalimasodo’ mengeja detail politik di Indonesia, bahwa bermacam-macam partai sesungguhnya bertujuan sama, yakni atas nama memperjuangkan kepentingan rakyat. Di sinilah semua partai, lembaga, institusi, komunitas apapun berulah mendo-mendo, merubah diri menjadi pejuang rakyat dalam mengambil simpati masyarakat. Bahkan tak segan-segan menampilkan begraund kekuatan super power meski imajiner di balik kancah perpolitikan sekali pun.

Pementasa Jaran Kepang ‘Tung Dor’ Kesenian Asli Desa Mojowarno

Di samping mempersilahkan seniman luar kabupaten atau propinsi untuk turut menyemarakkan Lawatan Buaya yang didukung Pemerintah Desa Mojowarno, Komunitas Suket, serta Komunitas Seni Mawarno juga menampilkan kesenian tradisi desa sendiri. Kesenian Jaran Dor atau Jaran Kepang yang pelakunya asli warga desa Mojowarno sengaja diuri-uri oleh Kades Catur agar bangkit kembali setelah vocum beberapa tahun. pementasan Jaran Kepang Mojowarno merupakan penutup seluruh rangkaian acara Lawatan Budaya. Seperti pementasan Jaran Kepang umumnya di daerah Jombang, tak kurang 300 penonton berjubel melingkari pelataran pementasan, dari kalangan tua, muda-mudi, dan anak sekalipun. Namun yang berbeda dari penampilan Jaran Kepang desa Mojowarno dibanding performa Jaran Kepang lain ialah proses ‘strum’ atau yang dikenal kerasukan, sengaja memakai strum lepas. Dalam strum lepas ini, proses keranjingan bias saja menimpa secara liar kepada siapapun yang ada di sekitar. Bahkan beberapa penoton gadis berteriak untuk ikut terkana strum. Dan proses strum inilah acara yang paling diminati penonton, bagaimana mereka menyaksikan pemain, teman atau siapa saja kerasukan yang berulah seperti penari Jaran Kepang. Ada yang menarik dari proses strum Jaran Kepang di penghujung Lawatan Budaya lalu, yakni keranjingannya Arif seniman asal Malang yang mementaskan monolog ‘Nyanyian Angsa’,tersaut strum sejak gamelan Jaranan ditabuh. Arif yang berada di dalam gedung Balai Desa, tiba tiba mendengus dan berulah seperti kadal. Ia merangkak serta kuku tangannya mencakar. Beberapa pawang mencoba menyembuhkan Arif, namun proses pemulihan Arif dari roh yang merasuki tergolong kuat. Saya (penulis) dan Bu Lurah Riris D. Nugrahini sempat kebingungan, apalagi saat Arif kerasukan, sempat mencakar beberapa kabel listrik. Dalam kekalutan tersebut, saya dan Riris sempat berbisik, ”sesungguhnya inilah pementasa Arif yang menarik daripada yang ia pentaskan saat bermonolog Nyanyian Angsa kemarin.”

*) Penggiat Lincak Sastra-Jombang.
Sumber: http://sastra-indonesia.com/2011/08/lawatan-budaya-menggugah-kekuatan-desa/

Tidak ada komentar:

Pasar Seni Indonesia