Minggu, 02 September 2018

CATATAN FESTIVAL BUDAYA FKIP UNISDA 2018


Gemuruh sorak sorai dan tepuk tangan penonton saat para penari tari persembahan dari mahasiswi PBIG pagi mengawali Praacara festival Budaya “Kearifan Budaya Sebagai Identas Keluhuran” FKIP Unisda 2018. Festival ini dibuka pada 25/8 Malam dan berakhir hingga 26/8 dini hari. Festival ini secara resmi dibuka oleh Rektor Unisda Ainun Masruroh, MH. Gelaran ini menampilkan orasi budaya, bazar kuliner, tari, musik akustik, Baca Puisi, Musikalisasi Puisi, Teater, Fashion show dll.

Sebelum penampilan-penampilan seni, acara ini didahului orasi budaya Dr. Musthofa, dalam orasinya ia mengatakan bahwa pentingnya menjaga dan melestarkan kearifan lokal (local genius) karena mengandung filosofi yang tinggi. Ia mencontohkan tampah sebuah alat untuk mengayak atau menyaring beras dengan gabah ompong maupun kerikil. Tampah dalam budaya jawa mempunyai filosofi yang tinggi, dimana dalam sebuah kehidupan, masyarakat harus memahami aturan dan batasan norma agar menjadi manusia yang bermartabat. Tampah menjadi pengingat proses memfilter, yaitu memilih dan memilah yang baik, kemudian membuang yang jelek atau buruk. Lelaki yang dikenal sebagai pakar semiotika dan filologi ini, juga menjelaskan makna tumpeng yang berasal dari sebuah singkatan ‘yen metu kudu mempeng’ bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti ‘ketika keluar harus sungguh-sungguh semangat. Tak heran jika nasi tumpeng dari dulu hingga saat ini sering dijadikan hidangan dalam suatu perayaan yang memiliki makna ucapan syukur ataupun kebahagiaan. Sebab, makna tumpeng sendiri adalah baik, yakni ketika terlahir manusia harus menjalani kehidupan di jalan Tuhan dengan semangat, yakin, fokus, dan tidak mudah putus asa.

Dalam orasinya Dr. Musthofa juga menjelaskan makna dari perlombaan tujuh belasan tempo dulu, misalnya lomba makan kerupuk, tarik tambang, lomba ambil uang logam dengan mulut. Dalam lomba makan kerupuk, tersimpan beberapa makna dan filosofi. Lomba ini mengajarkan tentang suatu kesederhanaan dan kesetaraan. Dalam lomba ini, tangan tidak diperbolehkan untuk ikut. Di sini diajarkan, bahwa setiap perjuangan harus membutuhkan kesabaran. Ini dapat menjelaskan bahwa kesuksesan tidak dapat diraih secara instan. Lomba makan kerupuk ini berusaha mengajarkan bahwa kesuksesan bisa diraih oleh semua orang walaupun dengan segala keterbatasan. Namun untuk meraihnya, masih dibutuhkan perjuangan, kesabaran dan doa. Filosofi tarik-tambang dan lomba ambil uang logam dengan mulut tentunya mengingatkan kita bahwa kemenangan akan susah untuk diraih. Bagaimana sakitnya tangan tergesek dengan tambang, terpeleset sehingga badan penuh lumur, mulut menjadi hitam karena mengambil logam yang telah dibaluri arang.

Pasangan duet pembawa acara naik ke panggung, mengantar penonton yang semakin bersemangat untuk memasuki acara berikutnya. Sebagai pembuka dramawan Rodli TL tampil membaca puisi karya WS Rendra “Sebuah Titipan” dengan ekspresi wajah yang terus berubah-ubah, suaranya terdengar lepas, tak lepas gerakan tangan menghiba, menengadah , menunjuk ke atas, seakan sedang memvisualkan isi puisi yang sedang ia bacakan. Rodli TL yang dijuluki Dewa Teater Lamongan ini mampu membawa penonton ke dalam ruang perenungan “Sebuah Titipan” bahwa sebagai manusia, kita hendaknya senantiasa mensyukuri nikmat/pemberian Tuhan, kita harus menyadari bahwa sesungguhnya segala yang kita miliki merupakan titipan dari Tuhan, sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu menjaga titipan Tuhan, selalu menjadi manusia yang ikhlas dalam menerima anugerah maupun cobaan (derita), kita harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhan secara ikhlas.

Penampilan berikutnya musikalisasi puisi dari Fransiska yang bertemakan kemerdekaan. Dalam puisi yang dibaca cukup apik oleh mahasiswi cantik asal PBSI sore ini, sebagai cambuk generasi muda bahwa kitalah yang harus meneruskan perjuangan para pahlawan kemerdekaan. Berikutnya pembacaan puisi Aziz Tsalis dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia ini mendapat sambutan yang cukup meriah dari penonton, sebelum membacakan puisi karyanya sendiri yang berjudul puisi matematis, ia memberikan joke joke lucu yang mengundang gelak tawa para penonton. Penampilan puisi berikutnya dari Dr. Zainal Arifin yang dikenal sebagai peneliti yang telah banyak menerbitkan buku metode penelitian ini tampil membacakan tiga buah puisi karyanya sendiri yang berjudul “Sajak Perjalan”, “Selamat Pagi Indonesiaku”, dan “Telaga Impian” tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya Dr. Zainal merupakan seorang deklamator puisi yang mempunyai segudang prestasi, hal ini bisa ditilik dari biografinya, Dr. Zainal semasa muda pernah menjadi juara 1 membaca puisi tinggkat provinsi, dan juara 2 membaca puisi tingkat nasional.

Penampilan berikutnya yaitu monolog teater yang dipentaskan oleh Irwan mahasiswa PBSI yang berjudul “Mengejar Bus” walaupun pentas monolog serta merta dan persiapan yang hanya satu jam sebelum acara dimuai namun keberanian mahasiswa ini patut diapresiasi. Berikutnya penampilan musik, Dr. Sutardi atau dalam dunia sastra lebih dikenal dengan nama Sutardi RM, ia membawakan sebuah tembang lawas yang berjudul “Biarkan Bulan Bicara” sebuah tembang yang mengisahkan seorang perempuan yang menyesal atas perbuatannya meninggalkan kekasihnya dan dia ingin kembali lagi kepada kekasihnya itu walaupun harus mendapat hukuman, fenomena cinta ini lebih fenomenal dari gerhana atau pasang surut terbit muncul bulan itu sendiri. Penampilan berikutnya musik akustik dari Fariq Shiddiq Tasaufy salah satu dosen muda PBIG.

Pentas monolog “Balada Sumarah” dari UKM Teater Roda Unisda, Komunitas yang banyak melahirkan seniman-seniman nasional ini menjadi pentas yang paling ditunggu-tunggu, monolog yang diaktori Alfionis Saidah dan disutradarai oleh Sri Utami Lestari Ningsih ini menjadi pentas utama malam itu. Dengan emosi yang berubah-ubah Sumarah menceritakan kisah hidupnya sebagai seorang TKW yang divonis mati karena kesalahannya membunuh majikannya. Di depan pengadilan dia sama sekali tidak ingin melakukan pembelaan, namun ia meminta kesempatan untuk sekedar menceritakan balada kehidupannya. Dalam pentas ini kejutan-kejutan ditampakkan oleh sutradara seperti lagu “genjer genjer” yang sangat erat hubungannya dengan pemberontakan G30SPKI, membuat emosi penonton meledak-ledak, kemudian visualisasi hukuman penggal yang mengerikan menjadi penutup pementasan monolog “Sumarah” malam itu.

Beberapa penampilan selanjutnya pun tidak kalah seru, diantaranya banjari dari Smt. III PMAT,  Fasion Show dari Smt. V Pagi PBSI, Karaoke dari Smt. V Pagi PBSI, dan Smt. VII Pagi PBSI, penampilan musik akustik dari Smt. III Pagi PMAT, Smt. III Pagi PBIG, Smt. V Pagi PBSI, tak kalah meriah penampilan menyanyi dari Smt. III Pagi PBSI, dan Smt. V Sore. Rangkaian acara panjang itupun sampai di muara, tentunya di event selanjutnya masih banyak hal yang perlu diperbaiki panitia salah satunya mengenai keterkaitan tema dengan muatan acara yang seharusnya tidak bertolak belakang. Tapi apapun itu patut mendapat apresiasi tinggi atas segala jerih payah panitia dalam penyelenggaraan Festival Budaya FKIP Unisda 2018 Bravo…!!!! Tabik. (LA*)

Tidak ada komentar:

Pasar Seni Indonesia