Rabu, 27 Maret 2013

Kesiapan Budaya Menyongsong Otonomi Daerah

Sutejo
Radar Madiun, 3 Okt 2000

Ketika reformasi bergelombang bak laut lepas, maka batu karang yang bernama status quo terkikis. Keangkuhan batu-batu pantai Orde Baru pecah oleh dahsyatnya dentuman ombak. Namun sayang, laut reformasi belum berhasil mengantarkan perahu idaman nurani bernama perubahan. Yang ada, nahkoda-nahkoda oportunistik yang mengibarkan bendera arogansi kekuasaan baru. Kalau begitu, untuk apa gelombang reformasi ini mengalun? Untuk apa kita bermimpi tentang dewa keadilan dalam mimpi yang kelam? Untuk apa kita berbicara demokrasi, kalau nurani kita terselip nadi-nadi Fir’aun, Korun, dan mungkin Dajjal yang anti demokrasi?

Ketika sampah-sampah reformasi masih begitu banyak berserakan di antara meja-meja birokrasi, masih gentayangan di benak terdalam para pejabat negeri. Dan ketika onggokan sampah reformasi itu masih menggelembung menjadi penyakit sosial, yang tiba-tiba menjalar di antara denyut nadi masyarakat kita, apa sebenarnya yang dapat kita impikan?

Otonomi daerah mungkin salah satu sampah itu. Sebab, bisa jadi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN itu, hanya ‘ingatan sejenak’ setelah terlelap tidur panjang di dipan Orde Baru. Bukankah kita, berpuluh tahun gemar ber-KKN ria? Bukankah kita sebagai pejabat dan aparat negara (daerah) berpuluh tahun berjubah kebesaran bernama Juklak dan Juknis?

Bukankah kita sebagai penyelenggara pemerintah daerah selama berpuluh tahun, hanya ‘krido lumahing asto’ kepada pemerintah pusat?

Permasalahannya sekarang: adakah kesiapan sosiologis rasional, untuk mengubah keadaan begitu drastis, seperti kita membalik telapak tangan? Sebab konsekuensi logis dengan akan diberlakukannya otonomi daerah, jelas menuntut berbagai kesiapan di berbagai lini dan dimensi institusi pemerintahan dan sosial masyarakat. Misalnya soal kewenangan daerah (Bab IV), pada pasal 7 kemudian disebutkan: ‘Kewenangan daerah mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.’

Salah satu konsekuensi dari pemberian/pelimpahan wewenang itu, adalah disertai juga dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (pasal 8). Mampukah daerah, dengan bupati atau gubernur sebagai sumbu mengembannya? Terlebih perubahan dan pelimpahan wewenang itu menjadi sesuatu yang sangat krusial dan kompleks.

Suatu kebiasaan penerimaan pegawai negeri sebagai ‘subsidi pengangguran’ misalnya, merupakan fenomena pelik yang harus secepatnya dijawab. Otonomi daerah yang bernafaskan etos kerja tinggi dengan bernadikan kompetisi, menjadi problem terberat daerah yang sudah sangat terbiasa dengan budaya ‘pegawai yang malas’, ‘pegawai duduk’, maupun ‘pegawai lembur’. Mungkinkah akan diberlakukan rasionalisasi pegawai?

Khusus persoalan SDM misalnya, di Indonesia secara umum adalah persoalan yang menakutkan. Apalagi di daerah. Jika selama ini kecenderungan SDM kita disinyalir banyak pihak pemalas, tidak kreatif, tidak disiplin, etos kerja rendah, kagetan, gumunan dan mudah marah (anarkis) maka problem sosiokultural ini jelas merupakan ‘benteng raksasa’ yang harus dirobohkan, manakala kita mau menancapkan fondasi otonomi daerah yang kuat. Mampukah bupati mengemban tugas sebagai buldozer budaya?

Arus reformasi memang kencang. Namun ternyata, belum mampu merobohkan ‘benteng raksasa’ itu. Apalagi reformasi moral. Jika reformasi hanyalah sebuah retorika (baik tulis maupun lisan), maka boleh jadi pemerintahan daerah yang reformatif tampaknya hanya akan melingkar-lingkar di ranah verbalistik. Di angan-angan, kata almarhum Gombloh.

Jika dalam penyelenggaraan negara dipergunakan asas umum (Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN) yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas. Maka fenomena mutakhir dengan centang perenangnya fenomena sosial merupakan sesuatu yang sangat kontradiktif.  Kepastian hukum, masih isapan jempol. Tertib penyelenggaraan negara masih dalam cerita. Asas kepentingan umum, masih di tangan para penyamun (koruptor-birokrat). Asas keterbukaan masih dalam retorika. Asas proporsionalitas, masih formalitas. Asas profesionalitas, masih di atas kertas. Asas akuntabilitas, masih disentuh tangan-tangan setan.

Ketika masyarakat masih mengeja demokrasi, para penyelenggara negara sudah main jurus demokrasi. Ketika rakyat masih berkata-kata reformasi, penyelenggara sudah ‘mereklamasi’ laut demokrasi. Ketika rakyat baru melangkahkan satu bidak catur, ‘politikus negara’ sudah main langkah variasi kuda. Alamak! Begitu sulitkah belajar demokrasi, terlebih reformasi, di negeri siluman ini? Emha bilang, negeri ini adalah tempat persembunyian makhluk siluman teraman di dunia. Gus Dur (sebelum jadi presiden) bilang, negeri ini adalah sebuah negeri yang seolah-olah ‘antah berantah’.

Romo Mangun, sebelum wafat sempat memotret negeri ini sebagai negeri yang unik, tempat segala apapun bisa terjadi.

Kini ketika senandung reformasi dan gelombang demokrasi menelurkan berpuluh undang-undang, di sana-sini masih banyak rakyat yang jengah. Masih banyak yang terbelalak. Dan masih banyak juga, yang mengusap-usap matanya dengan punggung tangan karena kabur tak dapat mengeja.

Kini, ketika genderang otonomi daerah dibunyikan, aparat dan rakyat masih tertutup lelap. Hanya sebagian kecil rakyat bicara, itupun dengan setengah gagap. Mau ke mana rakyat negeri ini? Jika merujuk pada fenomena politik 1999 dengan carut-marutnya perebutan kursi reformasi, pemberdayaan rakyat secara politis demokratis, tampaknya masih menjadi sesuatu yang sangat utopis. Pemberdayaan politik dan keterbukaan rakyat boleh jadi hanya menjadi tanah ulayat.

Jika memang demikian, otonomi daerah dan pemberdayaan daerah sebagai wujud keterbukaan demokrasi hanya akan melahirkan fatamorgana. Melahirkan mimpi-mimpi yang boleh jadi, tidak menjadi kenyataan. Sebab taktik politik yang diperagakan politikus daerah misalnya, menjadi salah satu hambatan untuk terwujudnya ‘demokrasi yang otonom’ di daerah.

Jika tangan-tangan ajaib masih berseliweran di kepala para politikus, di bibir pengemban amanat rakyat, maka proses reproduksi status quo dalam wajah baru akan menjelma menjadi drakula zaman yang mencekam. Penjilat-penjilat baru dengan teknik baru akan terfragmentasi ke dalam panggung bernama Ultra Orde Baru. Sebab bagaimana pun, akar-akar rumput Orde Baru masih tertanam kuat di tanah kemarau ini. Jika hujan itu tiba, atau badai sudah berlalu, akar-akar itu akan siap menjadi padang yang hijau.

Dan ini akan benar-benar terjadi, jika reformasi budaya tidak teragenda dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam paket reformasi daerah. Karena itu, menyongsong berkibarnya bendera otonomi daerah, marilah kita bermimpi akan munculnya seorang bupati dan gubernur yang berjiwa penggembala, yang siap menanggalkan baju kebesarannya untuk berteduh apa yang digembalakannya.

*) Penulis adalah Dosen Kopertis VII pada STKIP PGRI Ponorogo.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/03/kesiapan-budaya-menyongsong-otonomi-daerah/

Tidak ada komentar:

Pasar Seni Indonesia