Rabu, 14 Maret 2012

Buruh Bicara, Buruh Bersastra

Sony Wibisono
http://www.suaramerdeka.com/

KEMARIN, 1 Mei, adalah Hari Buruh Internasional. Jika para buruh di berbagai belahan dunia berdemonstrasi, sekelompok buruh merayakan hari itu dengan cara lain. Ya, para buruh migran itu mengadakan Festival Sastra Buruh di Gogodesa, Kecamatan Kanigoro, Blitar, Jawa Timur, pada 30 April-1 Mei.

Sejak awal mereka memang bersepakat untuk memperkenalkan karya seni, membaca puisi, dan berteater. Ajang itu juga menjadi bagi pengalaman lewat sastra mengenai kehidupan kaum buruh.

Ya, nasib buruh migran ternyata tak jauh beda dari buruh lokal. Namun memang masalah buruh migran lebih kompleks. AA Syifai, salah seorang penggagas festival itu, menuturkan kebijakan pemerintah sejak penyaluran tenaga kerja sampai soal perlindungan amat longgar.

“Lebih dari 50% biaya pengurusan kerja di luar negeri habis di tangan penyalur. Ya, dari pialang sampai menteri ambil jatah,” ujarnya.

Rumah tangga juga sering bermasalah karena kepergian mereka ke luar negeri. ” Banyak teman saya mengeluh sang suami kawin lagi,” ujar Maria Bo Niok.

Mantan buruh migran di Hong Kong yang sekarang menjadi penulis itu menuturkan banyak rekannya ternyata menulis. Nah, Festival Sastra Buruh adalah ajang bagi para buruh migran yang menjadi penulis, khususnya yang bekerja di Hong Kong.

Apa yang melatarbelakangi kepenulisan menulis? “Tidak lain tak bukan adalah keadaan,” kata Maria.

“Dulu saya beranggapan mereka menulis untuk sekedar curhat. Ternyata karya mereka luar biasa,” ucap Bonari Nabonenar, sastrawan yang belakangan dekat dengan buruh migran.

Dia bersama bersama rekan-rekannya tak mempermasalahkan apakah genre sastra buruh benar-benar ada. “Saya hanya berproses dengan teman-teman buruh yang menulis. Lepas dari ukuran apakah itu sastra buruh atau bukan.”

Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Unnesa, Surabaya, Setyo Yuwono, menilai buruh menulis sungguh positif. “Di kampus saja saya kesulitan mengembangkan atmosfer bersastra,” ujarnya.

Dia menyatakan salut karena di sela kesibukan sebagai buruh, mereka bisa memanfaatkan teknologi untuk menjalin komunikasi antarpenulis. “Padahal, banyak mahasiswa gagap teknologi. Membuka internet saja tak bisa,” katanya.

Beni Setia menganggap stigma ideologi kiri yang melekat pada buruh bukan kesalahan mereka. “Kita harus bisa melihat sastra secara objektif. Jangan dilihat semata-mata dari latar belakang sang pengarang,” ujar cerpenis yang bermukim di Madiun itu.

“Kalaupun ada ideologi dari luar, itu semata-mata karena ada penggerak dari luar yang bisa menerapkan teori pada buruh,” katanya. Sastra karya buruh migran, ujar dia, membuktikan bahwa karya tak bisa dilihat cuma dari satu sisi. “Kualitas karya mereka mematahkan banyak pendapat miring tentang buruh.”

Para buruh migran itu menulis karena kegelisahan. Dan, aksi budaya mereka bisa menjadi representasi keperihan hidup di negeri orang.

03 Mei 2007

Tidak ada komentar:

Pasar Seni Indonesia